
sawitsetara.co – JAKARTA – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) menghadiri Focus Group Discussion (FGD) tajaan Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan pembahasan terkait bursa sawit Indonesia. Agenda ini berlangsung di Hotel Novotel Cikini, Jakarta Pusat, Senin (20/10/2025).
Adapun FGD ini diselenggarakan terkait pelaksanaan penelitian akselerasi peran bursa berjangka komoditas CPO Indonesia sebagai acuan pasar dunia oleh International Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE) IPB.
Ketua Tim Peneliti InterCAFE IPB, Prof. Dr. Dedi Budiman Hakim, MA.Ec, mengatakan penelitian ini penting dilakukan. Penelitian ini, kata dia, sebagai upaya untuk menghasilkan kajian bagaimana Indonesia dapat menjadi acuan harga CPO dunia melalui ICDX. “Indonesia sebagai produsen terbesar seharusnya bisa membentuk ekosistem bursa yang reliable seperti bursa Malaysia,” katanya.
Dr. Widyastutik, SE, M.Si selaku tim dari peneliti IPB juga menyampaikan bahwa pemerintah Malaysia sangat mendukung bursa malaysia sehingga wajar jika saat ini harga sawit di Bursa Malaysia menjadi acuan dunia.
APKASINDO diwakili oleh Head of International Relation DPP APKASINDO (cn) Djono A. Burhan, S.Kom, ’Mgt (Int.Bus), CC.,CL. Selain itu hadir pula perwakilan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) dan perwakilan Kementerian Perdagangan yaitu BAPPEPTI, serta dari Bursa CPO Indonesia ICDX dan Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI).
Djono mengatakan bahwa Bursa CPO Indonesia memiliki peran penting sebagai kunci transparansi dalam perdagangan sawit di Indonesia. Djono mengatakan, sesuai dengan arahan Ketua Umum DPP APKASINDO Dr. Gulat ME Manurung, MP, C.IMA, C.APO, bahwa penting untuk memiliki hanya satu harga referensi acuan bursa CPO.
“Bapak ketua umum menyampaikan bahwa satu bursa tunggal ini penting untuk mendapatkan referensi yang tidak membingungkan yang reliable dan berkeadilan, yang betul betul menggambarkan pasar sawit indonesia, ini sama seperti bursa IHSG, yang dapat menggambarkan industri-industri dan sentimen secara nasional” katanya.
Djono menambahkan bahwa bursa CPO ini sebenarnya sudah masuk di dalam Permentan Nomor 13 Tahun 2024 tentang Penetapan Harga TBS di mana pada regulasi sebelumnya hanya memasukkan tender KPBN saja. Aturan ini, kata dia, menjadi dasar penting dalam penetapan harga TBS di seluruh provinsi penghasil kelapa sawit untuk mulai menggunakan harga bursa ICDX sebagai rujukan.
Djono mengatakan, bahwa sudah semestinya Indonesia ini menggunakan harga patokan ekspor (HPE) 100% dari bursa CPO Indonesia. Karena saat ini HPE Indonesia adalah 60% dari bursa CPO Indonesia, 20% dari bursa Malaysia, serta 20% dari bursa rotterdam. Hal menunjukkan Indonesia masih ragu-ragu dengan produk sendiri.
“Bagaimana negara lain bisa percaya bursa ICDX kita menjadi acuan harga internasional, sedangkan kita sendiri dalam negeri masih ragu dan masih menetapkan 60%. Kita harus optimis karena ICDX adalah harapan untuk petani sawit lebih sejahtera dan negara kita memiliki harga sawit yang berkeadilan dan stabil untuk masa depan kelapa sawit yang lebih berkelanjutan dan acuan dunia, karena kita produsen terbesar kelapa sawit dunia” kata Djono.
Presiden Direktur ICDX Fenny Widjaja menyampaikan bahwa saat ini sudah terdapat 58 member yang tergabung dalam Bursa CPO Indonesia. Hanya saja, kata dia, volumenya belum maksimal karena masih lemahnya regulasi pemerintah yang mendorong transaksi melalui bursa.
Tags:


Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *