Sawitsetara.co – PEKANBARU – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) turut menghadiri agenda BEDELAU 2025 Bincang Ekonomi dan Diseminasi Dukung Akselerasi Ekonomi Riau yang ditaja oleh Bank Indonesia (BI).
Agenda dengan tema Strategi Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit Rakyat (PSR) sebagai Penggerak Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Riau dan Nasional dilangsungkan di Pekanbaru, Selasa (21/10/2025).
Acara ini dihadiri oleh Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB University), Prof. Bayu Krisnamurthi dan Tenaga Ahli Kejaksaan Agung (Kejagung) Prof. Dr. Adi Sulistiyono, S.H., M.H. Adapun APKASINDO diwakili oleh Ketua Bidang Penelitian dan Keberlanjutan DPP APKASINDO, Dr. Riyadi Mustofa, SE., M.Si., C.EIA sekaligus sebagai Ketua LPPM Universitas Persada Bunda Indonesia (UPBI).
Dr. Riyadi menyoroti dari sisi ekonomi betapa pentingnya keberadaan perkebunan kelapa sawit bagi perekonomian dan berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat, dimana saat ini petani kelapa sawit memiliki tingkat kesejahteraan lebih baik dibandingkan dengan petani lainya. Selain itu lembaga keuangan lebih percaya dengan petani sawit dibandingkan dengan petani lainya
“Disini petani mempunyai tugas penting sehingga keberadaanya perlu dipertahankan, yaitu meminta kepada pemerintah melalui Aparat Penegak Hukum,” kata dia.
Pemerintah diharapkan segera merevisi atau membatalkan PP 45 tahun 2025 untuk memberikan kepastian hukum sehingga atas lahan yang dimiliki dan dikuasai mendapatkan kepastian hukum dan kenyamanan investasi untuk meningkatkan produktivitas lahan.
Dalam giat ini, Prof. Bayu menyampaikan beberapa hal terkait industri sawit di Tanah Air harus dipertahankan, peningkatan intensifikasi stok minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO). Jika perekbunan kelapa sawit tidak dipertahankan maka Riau dan Indonesia akan mengalami defiti produksi CPO sekitar 5,3 juta to. Sehingga untuk memenuhi permintaan pasar dan pemenuhan kebutuhan, kita harus membangun industri hilir beserta infrastrukturnya. Salah satu kendala pembangunan industri hilir di Riau adalah belum adanya pelabuhan khusus Peti Kemas.
Sementara itu, Prof Adi menyampaikan pemerintah harus mendorong aparat penegak hukum penyelesaian sawit dalam kawasan hutan berpihak ke petani untuk mendapatkan kepastian hukum. Namun pihaknya menekankan bahwa penegakan hukum menganut prinsip keadilan dan berpihak ke petani.
Seperti diketahui Kejagung tengah gencar melakukan penyitaan kebun sawit ilegal, terutama di Riau. Hingga saat ini, sekitar 3,3 hingga 3,4 juta hektare kebun sawit ilegal telah diselidiki, dengan sekitar 1,8 juta hektare di antaranya berada di Riau, meliputi wilayah Indragiri Hulu, Pelalawan, Rokan Hulu, Kampar, dan Bengkalis.
Menurut Prof Adi, angka penyitaan ini menunjukkan pelanggaran serius terhadap hukum agraria, kehutanan, dan lingkungan. Riau menjadi fokus karena memiliki luas kebun sawit terbesar secara nasional (±2,9 juta ha), namun sekitar 60% lahannya bermasalah dari sisi legalitas.
Di sisi lain, penyitaan berdampak pada petani plasma dan koperasi, meskipun sebagian sudah memiliki legalitas adat atau bukti jual beli sah. Banyak kebun rakyat tanpa izin formal ikut terseret karena konflik tata ruang lama, menimbulkan ketidakpastian hukum agraria dan ekonomi rakyat.
“Kasus-kasus menunjukkan tumpang tindih kewenangan antara hukum agraria, kehutanan, dan investasi, serta lemahnya koordinasi One Map Policy, yang merugikan masyarakat adat, plasma, dan koperasi. Ketidakpastian ini menghambat investasi sawit rakyat dan hilirisasi, implementasi ISPO dan Sertifikasi NDPE, serta menurunkan kepercayaan investor asing,” katanya.
Prof. Adi menambahkan, penyitaan kebun sawit ilegal di Riau adalah langkah penting dalam penegakan hukum, namun harus diimbangi dengan pendekatan yang adil dan berkeadilan sosial-ekologis. Reformasi ini akan menyeimbangkan penegakan hukum dan keadilan sosial-ekologis, sesuai dengan nilai Pancasila dan UUD 1945 Pasal 33 ayat (3).
Tags:
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *