Sawitsetara.co – JAKARTA – Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2025 yang merevisi PP No. 24 Tahun 2021, terkait sanksi administratif di bidang kehutanan, yang berlaku sejak 19 September 2025.
Regulasi ini awalnya diharapkan menjadi solusi bagi jutaan hektare perkebunan sawit yang terlanjur berada di kawasan hutan tanpa izin. Namun, alih-alih memberikan kepastian, aturan baru ini justru memicu ketidakpastian yang mengkhawatirkan.
Ketua Bidang Penelitian dan Keberlanjutan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Dr. Riyadi Mustofa, SE, M.Si mengatakan industri kelapa sawit Indonesia memegang peran strategis dan hingga saat ini belum tergantikan oleh komoditas lain.
“Sebagai komoditas ekspor utama dan penghasil devisa signifikan, sawit merupakan penopang mata pencaharian bagi sekitar 16,5 juta pekerja yang terlibat di dalamnya dan memiliki multipler effek (ME) 2.44,” kata pria yang karib disapa Bowo ini, dalam keterangan tertulis kepada sawitsetara.co, Selasa (30/9/2025).
Menurut Ketua LPPM Universitas Persada Bunda Indonesia ini, hadirnya Undang-Undang nomor 11 Tahun 2020 tahun 2020 dan diubah menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, adalah filosofi awal dasar hukum penyelesaian masalah keterlanjuran lahan sawit di kawasan hutan prinsip ultimum remedium.
“Prinsip ini dirancang untuk memastikan bahwa aset produktif yang sudah terbangun dapat dilegalisasi setelah pelaku usaha membayar kompensasi kepastian hukum,” tambahnya.
Pemerintah gres menerbitkan PP No. 45 Tahun 2025 perubahan atas PP No. 24 Tahun 2021 mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif di bidang kehutanan. PP ini diharapkan menjadi solusi penertiban tata kelola lahan yang terlanjur tumpang tindih dengan kawasan hutan, di mana konflik tenurial telah ada sejak sebelum Indonesia merdeka (Sembiring, 2009), sedangkan sawit di dalam kawasan hutan era deregulasi pada 1990-an.
Namun, menurut Dr. Riyadi, mandat dari PP ini telah menimbulkan kontroversi bagi industri sawit nasional. Kontroversi ini ibarat buah SIMALAKAMA. Perhitungan denda yang sampaikan tidak lebih dari sebuah pemaksaan dan perampasan aset terhadap petani. Pemaksaan atas denda yang harus dibayar dengan tarif Rp 25 juta/ha/tahun dan perampasan aset berupa penguasaan kembali oleh pemerintah.
Presiden menegaskan bahwa penertiban ini adalah bagian dari kewajiban eksekutif untuk menegakkan hukum demi keselamatan bangsa dan penyerahan penguasaan kembali kawasan hutan. Namun penyerahan kebun sawit hasil penertiban ke PT Agrinas Palma Nusantara masih menimbulkan kontroversi dan solusi sesaat dan berpotensi menimbulkan dampak sistemik.
Dr. Riyadi menjelaskan, dampak sistemik dari kebijakan ini yaitu krisis legalitas berupa hilangnya kepastian hukum, krisis finansial berupa mahalnya denda yang harus dibayar memicu melumpuhkan kemampuan perusahaan untuk beroperasi dan memicu moratorium kredit oleh lembaga keuangan, dan krisis sosial-agrikultural menjadi produktivitas stagnan.
Kepastian hukum juga memicu penurunan volume produksi (TBS dan CPO) stagnan dan peningkatan biaya operasional akibat denda harga pokok produksi. Produktivitas stagnan akan menimbulkan krisis finansial dan pendapatan jutaan petani kelapa sawit nasional terganggu. Krisis finansial mengganggu pendapatan petani sawit rakyat secara fundamental bergantung pada stabilitas harga dan permintaan TBS yang mereka jual.
“Stabilitas ini sepenuhnya bergantung pada kelancaran operasional Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di sektor tengah industri. Jika industri terganggu makan seluruh sektor secara sitemik terganggu,” kata Dr. Riyadi.
Sebelumnya, Direktur PUSTAKA ALAM, Muhamad Zainal Arifin, juga menyoroti masalah legalitas lahan sawit sebagai “bom waktu” warisan era deregulasi 1990-an. Ia mengkritik bahwa PP 45/2025 justru mengambil jalan pintas yang mengorbankan kepastian usaha dan hak agraria.
Perubahan mendasar terlihat pada filosofi hukum. UU Cipta Kerja menekankan penyelesaian melalui denda, namun PP 45/2025 memperkenalkan mekanisme penguasaan kembali. Lahan yang sudah didenda tidak otomatis dilegalkan, melainkan diambil alih negara dan diserahkan ke BUMN.
“Ini jelas bertolak belakang dengan semangat UU Cipta Kerja,” kata Zainal, dalam keterangan resmi, Minggu (28/9/2025).
Masalah lain timbul dari metode perhitungan denda. UU Cipta Kerja mengamanatkan perhitungan berdasarkan persentase keuntungan, sedangkan PP 45/2025 menetapkan tarif tetap Rp25 juta per hektare per tahun. Perubahan ini, menurut Zainal, bukan saja menghapus keadilan, tetapi juga menimbulkan disparitas ekstrem.
Persoalan semakin rumit dengan penggunaan data izin lokasi sebagai dasar perhitungan luas oleh Satgas PKH, bukan data kebun riil. Kritik Zainal juga diarahkan pada penguatan posisi Satgas PKH yang bersifat ad hoc, yang dianggap menjelma pemerintahan bayangan.
“Dampak terberat aturan ini adalah pada hak atas tanah, di mana HGU dapat hilang hanya karena dianggap berada di kawasan hutan. Kondisi ini membuat lembaga keuangan ragu memberikan kredit ke sektor sawit,” kata Zainal.
Lebih lanjut, Zainal menambahkan, risiko lainnya adalah peningkatan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara dan potensi sengketa agraria yang makin panas. Ancaman krisis pasokan CPO juga tidak bisa diabaikan jika lahan produktif beralih ke BUMN yang belum tentu efisien.
Hingga September 2025, Satgas PKH mengklaim telah menguasai kembali 3,3 juta hektare lahan. Jika denda dihitung Rp250 juta per hektare, total kewajiban yang harus dibayar perusahaan mencapai Rp831 triliun, yang berpotensi melumpuhkan perusahaan sawit.
Zainal menegaskan bahwa PP 45/2025 justru dipersepsikan sebagai instrumen pengambilalihan terselubung, menggeser filosofi denda dari legalisasi menjadi nasionalisasi. “Jika tidak segera dikoreksi, PP 45/2025 bisa menjadi titik awal krisis besar sawit Indonesia-krisis legalitas, finansial, dan sosial,” ungkap Zainal.
Industri sawit Indonesia kini menghadapi tekanan ganda, baik dari isu lingkungan dan boikot luar negeri, maupun regulasi dalam negeri yang kontradiktif, yang memperburuk potret suram sawit nasional.
Tags:
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *