KONSULTASI
Logo

B50 Terancam Ganggu Peremajaan Sawit: Subsidi Bengkak, Petani Bisa Gigit Jari

22 Oktober 2025
AuthorDwi Fatimah
EditorDwi Fatimah
B50 Terancam Ganggu Peremajaan Sawit: Subsidi Bengkak, Petani Bisa Gigit Jari
HOT NEWS

sawitsetara.co - Rencana pemerintah menerapkan campuran biodiesel 50% (B50) mulai 2026 mendatang menuai sorotan tajam. Meski ditujukan untuk mengejar target energi terbarukan, kebijakan ini dikhawatirkan justru bisa “mencekik” program penting lainnya terutama peremajaan sawit rakyat (PSR) yang sangat dinanti petani.

Menurut Guru Besar Agribisnis IPB University, Bayu Krisnamurthi, kebijakan B50 akan membuat kebutuhan subsidi biodiesel membengkak hingga Rp 46,45 triliun per tahun, naik sekitar Rp 10-12 triliun dari skema B40 saat ini. Padahal, dana yang tersedia di Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) diperkirakan hanya sekitar Rp 13 triliun.

“Kalau semua dana BPDP habis untuk subsidi B50, program replanting sawit yang sangat dibutuhkan petani bisa hilang dari prioritas,” tegas Bayu.

Kajian dari Pusat Penelitian Pranata Pembangunan UI (Pranata UI) mengungkap bahwa loncatan dari B40 ke B50 akan membutuhkan tambahan sekitar 4 juta ton minyak sawit mentah (CPO) untuk dicampur ke bahan bakar. Ini berpotensi mengurangi pasokan ekspor sawit sebesar 4-5 juta ton, dengan potensi kehilangan devisa hingga Rp 18 triliun.

Tak hanya itu, harga CPO dunia diperkirakan naik US$ 150 per ton, dan harga tandan buah segar (TBS) sempat diproyeksi naik Rp 600 per kg. Namun efek jangka panjangnya bisa jadi berbalik arah.

“Kalau ekspor turun dan subsidi membengkak, pungutan ekspor (PE) juga melemah. Akibatnya, harga TBS bisa anjlok sampai Rp 1.700 per kg,” jelas Bayu.

Tak hanya petani yang kena imbas, konsumen pun bisa merasakan dampaknya. B50 disebut bisa menaikkan harga minyak goreng domestik hingga 9%, atau sekitar Rp 1.900 per liter.

Simulasi Pranata UI menyebutkan, meskipun B50 berpotensi menghemat devisa impor solar hingga Rp 172 triliun, kerugian dari penurunan ekspor sawit bisa mencapai Rp 190 triliun. Skema penyeimbang seperti menaikkan tarif PE sawit juga bukan solusi ampuh—kenaikan 1% saja bisa memukul harga TBS petani hingga Rp 333 per kg.

Bayu juga menyoroti relevansi arah kebijakan B50 dalam konteks global. Ia menilai, industri otomotif dan energi justru mulai meninggalkan mesin berbasis pembakaran (combustion engine) dan beralih ke teknologi yang lebih bersih seperti listrik dan hidrogen.

“Kalau industri dunia tak lagi pakai mesin bakar, kenapa kita dorong terus biodiesel? Perlu alasan yang jelas dan data kuat,” ujarnya.

Selain itu, klaim soal penurunan emisi lewat biodiesel juga dinilai belum solid. Beberapa studi menunjukkan, proses produksi biodiesel justru bisa menambah jejak emisi.

Kebijakan B50 memang lahir dari semangat mengejar target bauran energi nasional, tapi para ahli menilai pemerintah harus hati-hati. Tanpa perhitungan matang, program ini bisa menjadi “genta kematian” bagi industri sawit nasional, bukan tonggak kemajuan. Keseimbangan antara energi terbarukan, kepentingan petani, dan stabilitas ekonomi nasional kini jadi taruhan besar.


Berita Sebelumnya
Kejaksaan Agung RI Tawarkan Peta Solusi Hukum dan Tata Kelola Sawit Rakyat Pascapenyitaan Lahan

Kejaksaan Agung RI Tawarkan Peta Solusi Hukum dan Tata Kelola Sawit Rakyat Pascapenyitaan Lahan

Tenaga Ahli Kejaksaan Agung (Kejagung) Prof. Dr. Adi Sulistiyono, S.H., M.H memaparkan peta solusi hukum dan tata kelola sawit rakyat pascapenyitaan lahan. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk melindungi petani kecil dan memastikan hukum berfungsi secara berkeadilan sosial.

21 Oktober 2025 | Berita

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *