
sawitsetara.co - JAKARTA - Di tengah makin menyusutnya lahan subur akibat alih fungsi dan deforestasi, harapan baru bagi masa depan kelapa sawit Indonesia muncul dari arah yang tak terduga — lahan kering masam. Bagi sebagian orang, jenis tanah seperti Ultisols atau Oxisols dikenal “bermasalah” karena masam dan miskin hara. Namun bagi para peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), justru di situlah peluang besar tersembunyi.
Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan (ORPP) BRIN, Puji Lestari, menegaskan bahwa riset sawit harus mendapat perhatian serius, mengingat peran strategis komoditas ini bagi perekonomian nasional.
“Produktivitas sawit kita masih jauh dari potensi genetiknya. Karena itu, riset dan inovasi berperan penting dalam menciptakan sistem produksi yang efisien dan berkelanjutan,” ujar Puji dalam webinar EstCrops_Corner#20 yang digelar oleh Pusat Riset Tanaman Perkebunan (PRTP) BRIN, Selasa (21/10/2025).
Lahan kering masam (LKM) tersebar luas di Indonesia, terutama di Kalimantan dan Sumatera. Meskipun dikenal sebagai tanah miskin hara dan mudah tererosi, para peneliti BRIN meyakini bahwa dengan pendekatan ilmiah, LKM dapat disulap menjadi lahan produktif dan ramah lingkungan.
Pendekatan intensifikasi yang mereka tawarkan meliputi pemupukan berimbang, ameliorasi tanah, teknologi konservasi lahan dan air, serta penggunaan bibit unggul. Melalui penerapan Best Management Practices (BMP) seperti pemupukan 4T (tepat jenis, dosis, waktu, dan tempat), penggunaan biochar, pupuk organik, serta konservasi air, LKM berpeluang menjadi “ladang masa depan” bagi industri sawit nasional.
“Pendekatan ilmiah berbasis BMP bukan hanya meningkatkan hasil panen, tapi juga menjaga keseimbangan ekosistem,” jelas Puji.
Namun, ia tak menutup mata terhadap tantangan sosial-ekonomi di lapangan. Lemahnya kelembagaan petani, rendahnya adopsi teknologi, dan fluktuasi harga TBS masih menjadi pekerjaan rumah besar.
“Kita harus menjawab tantangan ini dengan kolaborasi kuat antara riset dan kebijakan,” tegasnya.
Kepala Pusat Riset Tanaman Perkebunan BRIN, Setiari Marwanto, menambahkan bahwa sawit merupakan komoditas vital bagi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Namun kesenjangan antara hasil aktual dan potensi tanaman masih besar.
“Teknologi perbenihan maju dan pengelolaan tanah presisi adalah dua pilar penting menjaga keberlanjutan sawit Indonesia,” ungkap Setiari.
Riset pemuliaan, kultur jaringan, dan penerapan bioteknologi disebutnya sebagai strategi untuk meningkatkan produktivitas tanpa membuka lahan baru. “Kualitas bahan tanam menentukan daya saing industri sawit nasional. Karena itu, kolaborasi lintas sektor mutlak diperlukan,” tambah Puji dalam kesempatan yang sama.
Dalam paparan ilmiahnya, Suratman, Peneliti Ahli Utama BRIN, menjelaskan bahwa tanaman sawit memiliki toleransi tinggi terhadap tanah masam dan mampu bertahan pada periode kekeringan jangka pendek berkat sistem perakarannya yang dalam.
“Dengan pengelolaan yang tepat mulai dari pupuk, biochar, kapur, hingga strategi konservasi air, LKM bisa menjadi lahan produktif. Tapi kita juga harus memperhitungkan faktor sosial, ekonomi, dan kelembagaan agar implementasinya berhasil,” ujarnya.
Pandangan serupa disampaikan Ardha Apriyanto, pakar pemuliaan tanaman dari PT Astra Agro Lestari Tbk. Ia menekankan pentingnya riset kolaboratif antara industri, akademisi, dan lembaga riset untuk menghasilkan varietas sawit unggul yang adaptif terhadap iklim dan efisien dalam pemanfaatan sumber daya lahan.
Melalui kegiatan EstCrops_Corner#20, BRIN kembali menegaskan komitmennya memperkuat riset strategis perkebunan nasional. Pemanfaatan lahan kering masam dipandang sebagai solusi inovatif untuk mengatasi keterbatasan lahan subur sekaligus menjaga keberlanjutan industri sawit.
Dengan riset yang kuat, inovasi yang tepat, dan kolaborasi lintas sektor, masa depan sawit Indonesia diyakini akan semakin produktif, efisien, dan ramah lingkungan bukan hanya untuk hari ini, tapi juga untuk generasi yang akan datang.


Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *