
sawitsetara.co – JAKARTA – Banjir tercatat melanda berbagai wilayah di Indonesia sepanjang tahun 2025, dengan skala kejadian yang tersebar hampir di seluruh provinsi.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga 28 November 2025, peristiwa banjir tersebut dipicu oleh kombinasi hujan ekstrem, pertumbuhan kawasan terbangun yang tidak terkendali, serta degradasi daerah aliran sungai (DAS) yang berlangsung dalam jangka panjang.
Fenomena ini menunjukkan bahwa banjir merupakan persoalan struktural lintas sektor yang tidak dapat dilepaskan dari perubahan tata ruang dan dinamika iklim nasional. Di tengah tingginya frekuensi kejadian tersebut, muncul kembali narasi yang mengaitkan perkebunan kelapa sawit sebagai penyebab utama banjir.

Namun, pemetaan kejadian bencana secara nasional justru memperlihatkan distribusi banjir lebih dominan terjadi di wilayah yang bukan merupakan sentra utama perkebunan sawit. Hal ini menegaskan perlunya kehati-hatian dalam menarik kesimpulan sebab-akibat, terutama jika tidak ditopang oleh data spasial dan hidrologi yang memadai.
Mengacu pada data resmi yang dikutip HaiSawit dari laman Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pada Selasa (16/12/2025), BNPB mencatat sebanyak 1.502 kejadian banjir secara nasional hingga akhir November 2025.
Intensitas tertinggi tercatat berada di sejumlah provinsi di Pulau Jawa, yang secara struktur wilayah memiliki kepadatan penduduk tinggi, urbanisasi masif, serta tingkat alih fungsi lahan yang signifikan dalam dua dekade terakhir.
Secara rinci, provinsi dengan jumlah kejadian banjir terbanyak adalah Jawa Barat dengan 168 kejadian, disusul Jawa Timur sebanyak 154 kejadian, dan Jawa Tengah 132 kejadian. Selain itu, Sulawesi Tengah dan Lampung juga masuk dalam daftar wilayah dengan kejadian banjir cukup tinggi sepanjang 2025, meskipun karakter geografis dan penggunaan lahannya berbeda-beda.
Fakta menarik dari data tersebut menunjukkan bahwa tiga provinsi dengan intensitas banjir tertinggi berada di Pulau Jawa, kawasan yang secara nasional tidak dikenal sebagai sentra produksi kelapa sawit. Dalam peta resmi produksi sawit Indonesia, Pulau Jawa justru didominasi oleh kawasan permukiman, industri, dan pertanian non-perkebunan, sehingga memperkuat argumentasi bahwa banjir tidak dapat disederhanakan hanya sebagai dampak dari aktivitas perkebunan sawit.

Sebaliknya, provinsi-provinsi yang dikenal sebagai sentra perkebunan sawit nasional justru mencatat angka kejadian banjir yang relatif lebih rendah. Riau, misalnya, tercatat mengalami 74 kejadian banjir sepanjang periode pencatatan BNPB 2025.
Kalimantan Barat mencatat sekitar 40 kejadian, sementara Kalimantan Timur berada di kisaran 30 kejadian. Data ini menunjukkan adanya perbedaan pola kejadian banjir antara wilayah sawit dan non-sawit.
Berbagai kajian ilmiah dan laporan kebencanaan menyebutkan bahwa banjir merupakan hasil dari interaksi kompleks sejumlah faktor, mulai dari intensitas hujan ekstrem, berkurangnya daya resap tanah akibat urbanisasi, hingga pendangkalan dan kerusakan DAS.
Faktor-faktor tersebut kerap saling memperkuat, terutama di wilayah perkotaan dan daerah dengan sistem drainase yang tidak mampu mengimbangi peningkatan curah hujan.
Sejumlah penelitian internasional turut memberikan perspektif berbeda terkait peran perkebunan sawit terhadap tata air. Studi Center for International Forestry Research (CIFOR) menunjukkan bahwa kebun sawit dengan usia tanam antara lima hingga 25 tahun memiliki lapisan serasah yang relatif tebal serta porositas tanah yang lebih baik dibandingkan lahan terbuka.
Kondisi tersebut berpotensi memperlambat limpasan permukaan (runoff) dan meningkatkan infiltrasi air hujan ke dalam tanah.
Perbandingan data banjir nasional pada periode sebelumnya dengan tahun 2025 juga memperlihatkan pola yang konsisten. Wilayah non-sentra sawit secara berulang mencatat jumlah kejadian banjir lebih tinggi dibandingkan daerah sentra perkebunan.
Pola ini mengindikasikan bahwa faktor tata ruang, kepadatan penduduk, dan kapasitas infrastruktur pengendali banjir memiliki pengaruh yang jauh lebih signifikan.
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat terdapat 118 daerah aliran sungai di Indonesia yang berstatus kritis. Pada saat yang sama, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan tren peningkatan hujan ekstrem dalam lima tahun terakhir. Kombinasi dua faktor ini memperbesar risiko banjir di berbagai wilayah, sebagaimana dirujuk dalam publikasi GAPKI
Tags:



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *