
sawitsetara.co - YOGYAKARTA - Desakan pembentukan Badan Kelapa Sawit Nasional (BKSN) kembali menggelora di kampus perjuangan petani sawit Indonesia, Instiper, setelah Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Dr. Ir. Gulat ME Manurung, MP., C.IMA, memaparkan situasi terkini industri sawit Indonesia dalam Workshop SDM Sawit bersempena Dies Natalis INSTIPER Yogyakarta, pada Selasa, (9/12/2025). Dalam kesempatan itu, Gulat menegaskan bahwa masa depan 17,5 juta Petani sawit dan keluarganya bergantung pada SDM Hybrid Sawit terkhusus keberpihakan negara dalam menyelesaikan persoalan legalitas lahan, meningkatkan produktivitas, serta menata ulang kelembagaan sawit nasional yang selama ini berjalan terpisah-pisah di banyak institusi.
Dr. Gulat membuka pemaparannya dengan menyoroti posisi strategis Indonesia di pasar minyak nabati global. Dari total 228 juta ton minyak nabati dunia, minyak sawit menyumbang hampir 79 juta ton, dan Indonesia menguasai 48 juta ton di antaranya atau sekitar 60 persen pangsa global. Dominasi ini, menurutnya, bukan hanya menunjukkan kekuatan ekonomi Indonesia, tetapi juga menegaskan besarnya ketergantungan dunia terhadap minyak sawit nasional sekaligus peluang dan ancaman. “Sawit bukan sekadar komoditas ekspor. Ia menyangkut daya tawar negara, pangan, energi, dan geostrategi global,” ujarnya.
Dengan luas lahan yang mencapai 16,8 juta hektare atau lebih dari 44 persen dari total luas lahan pertanian Indonesia, industri sawit telah menjadi sumber nafkah bagi 17,5 juta tenaga kerja dan keluarga petani sawit. Namun, Gulat menekankan bahwa kondisi lapangan tidak seindah angka statistik tersebut. Ia menyoroti fakta bahwa sekitar 3,3 juta hektare kebun sawit berada di dalam kawasan hutan yang saat ini sudah disita oleh negara melalui Satgas PKH. Hal ini sudah menjadi perhatian serius dunia pada 11 bulan terakhir.
“Kami petani sawit sangat mendukung Satgas PKH, karena sejarah sudah mencatat betapa sulitnya selama ini membuka data luasan dan perizinan perusahaan perkebunan sawit. Namun dengan Satgas PKH, semuanya jadi terang menderang,” kata Dr. Gulat.
“Hanya masalahnya setelah terbuka data tersebut, mau diapain?. Data ini sangat-sangat strategis untuk kedaulatan Indonesia sebagai negara produsen minyak sawit terbesar dunia. Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian dan ATR BPN, harus fokus menyelesaikan masalah dengan terbukanya data hasil kerja Satgas PKH. Saya sepakat resolusinya ada di UU Cipta Kerja” lanjutnya.

Perlu diketahui bahwa korporasi sawit yang besar-besar tidak begitu kuatir dengan satgas PKH, karena mereka sudah siap jauh sebelumnya, tapi yang paling perlu ditolong adalah petani sawit dengan segala keterbatasannya dan negara harus hadir untuk itu, lanjut Dr. Gulat.
Jangan lupa “Dunia terkejut dengan kebijakan dan hasil kerja Satgas PKH yang diiringi dengan penyitaan. Saya tidak tau dari sisi mana dunia terkejutnya, namun saya menduga terkait kepada kepastian investasi jangka panjang dan politik bisnis” tegas Dr. Gulat dihadapan 68 Pimpinan Perusahaan Sawit dari berbagai group dan 53 Akademisi Instiper yang hadir pada workshop tersebut.
Situasi yang memicu konflik agraria, penertiban, ketidakpastian hukum, hingga terhambatnya akses petani terhadap pembiayaan dan berbagai program pemerintah tentu menjadi persoalan berat kedepannya akibat klaim kawasan hutan di areal penghidupan petani sawit, lanjutnya. “Isu sawit dalam kawasan hutan ini adalah bom waktu. Petani yang puluhan tahun bercocok tanam justru berhadapan dengan ancaman ketidakpastian,” katanya.
Selain permasalahan legalitas, Gulat juga mengungkapkan semakin lebarnya kesenjangan produktivitas antara petani rakyat dan perusahaan besar. Petani hanya mampu menghasilkan 400-600 kg TBS/ha/bulan dan 1,6-1,9 ton CPO/ha/tahun, sementara perusahaan besar dapat melampaui 4 ton CPO/Ha/tahun. Menurutnya, satu-satunya cara untuk menutup jurang produktivitas itu adalah dengan mempercepat dan mempermudah persyaratan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Namun, program ini justru mandek sejak diluncurkan 2017 karena persoalan administrasi, legalitas lahan, hingga lambatnya eksekusi di lapangan. Padahal sejak 2015, BPDPKS telah menghimpun lebih dari Rp250 triliun dana pungutan ekspor, tetapi realisasi PSR hanya berada pada rentang 22-42 persen per tahun dengan tingkat rata-rata serapan 27 persen. “Ini ironi pembangunan. Petani yang menjadi sentral produksi justru paling sulit mengakses dukungan melalui PSR dan Program Sarpras lainnya,” ujarnya.
Mau saja petani PSR sudah harus disyukuri karena selama.3-4 tahun pendapatan petani dari sawitnya akan hilang, kata Dr. Gulat.
Dalam paparannya, Gulat tidak lupa memberi masukan strategis kepada Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) supaya petani sawit diberikan kekhususan (afirmatif) tidak menjadi target Satgas.

“Dibeberapa kali pertemuan dan hasil audiens dengan beberapa K/L terkait target Satgas jelas disampaikan bahwa kebun sawit rakyat bukan menjadi target utama justru akan melindungi,” ujar Dr Gulat.
Kami percaya bahwa Bapak Presiden Prabowo sangat berpihak ke rakyat kecil, terutama kami petani sawit khususnya yang terjebak klaim sepihak kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan, lanjutnya.
“Yang paling menarik adalah ketika lahan sitaan kebun petani tersebut diserahkan ke Agrinas Palma Nusantara (BUMN), akan menimbulkan masalah baru bagi perusahaan plat merah tersebut, karena selain produktivitasnya sangat rendah, mayoritas rusak dan bibitnya illegetim, juga akan menjadi presenden tertentu masyarakat,” kata Dr. Gulat.
Untuk itu perlu dipertimbangkan dengan sangat matang dan terukur kebun sawit rakyat tidak menjadi target Satgas PKH, karena lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya, lanjutnya.
Ia menegaskan bahwa akar utama dari berbagai persoalan sawit ini adalah fragmentasi tata kelola kehutanan oleh Kementerian Kehutanan yang memaksakan diri bahwa penunjukan kawasan hutan sudah syah menjadi kawasan hutan, padahal ada 3 tahapan wajib dilakukan sesuai amanah UU Pokok Kehutanan No 41 tabun 1998. Data penjunjukan kawasan hutan inilah yang menjadi panduan satgas PKH, tentu ini akan menjadi masalah dikemudian hari.
Untuk itu, Apkasindo menilai pembentukan Badan Kelapa Sawit Nasional (BKSN) adalah langkah paling realistis untuk menyatukan data, kebijakan, koordinasi lahan, riset, serta hilirisasi di bawah satu komando yang kuat dan pemasukan negara. Dengan adanya lembaga tunggal otoritas dibawah langsung Presiden, Gulat meyakini industri sawit Indonesia akan melompat lebih jauh. Ia memaparkan proyeksi Apkasindo, di mana produksi CPO dapat meningkat dari 48 juta ton menjadi 80 juta ton pada 2029, devisa ekspor dari Rp440 triliun menjadi Rp750 triliun pada 2028, sementara pungutan ekspor bisa naik dua kali lipat. Selain itu, sertifikasi keberlanjutan diprediksi bisa mencapai 100 persen pada 2028 dan diversifikasi produk naik dari 190 menjadi 250 jenis. “Tanpa lembaga tunggal, kita hanya akan berputar dalam lingkaran kebijakan yang tidak efektif,” ujarnya.
Tentu untuk mencapai itu semua sembari menantikan lahirnya Badan Otoritas Sawit Indonesia (BoSI) atau lebih familiar akhir-akhir ini dengan nama Badan Kelapa Sawit Nasional (BKSN), diperlukan SDM Sawit Hybrid.
“Artinya menguasai yang bukan hanya terfokus ke produktivitas tapi juga mencakup 17 SDGs dan negara akan menerima manfaat yang sebenar-benarnya dari sawit Indonesia. Hybrid SDM adalah kata kuncinya,”, ujar Dr Gulat mengakhiri pemaparannya.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *