
sawitsetara.co - JAKARTA — Kelapa sawit Indonesia dinilai kerap diposisikan sebagai “tersangka” dalam berbagai isu lingkungan global, termasuk banjir besar di Sumatera.
Namun, menurut ahli ekonomi digital Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Agus M. Maksum, S.Si., persoalan utama sawit bukan terletak pada lemahnya data ilmiah, melainkan pada kekalahan dalam pertarungan narasi internasional.
“Sawit Indonesia hari ini bukan kalah karena salah, tetapi kalah karena ceritanya kalah,” ujar Agus dalam catatannya yang dikutip Jumat (27/12/2025).
Agus menjelaskan, secara ilmiah kelapa sawit merupakan tanaman minyak nabati paling efisien di dunia. Merujuk pada data International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan Our World in Data, sekitar 35–40 persen minyak nabati global dihasilkan hanya dari kurang dari 9 persen total lahan tanaman minyak.
“Angka ini bukan slogan, tetapi hasil hitungan sains yang jarang dibicarakan dalam perdebatan publik,” kata dia.
Menurut Agus, jika lingkungan benar-benar menjadi titik tolak kebijakan global, maka diskusi seharusnya bergeser dari upaya menyingkirkan sawit menuju bagaimana mengelolanya secara benar. Namun, efisiensi sawit justru dianggap ancaman oleh produsen minyak nabati lain yang secara agronomis memiliki produktivitas jauh lebih rendah.
Ia menilai, di sinilah hambatan non-tarif berbasis isu lingkungan berperan sebagai alat proteksi ekonomi. Agus mengutip konsep displacement effect yang disampaikan dalam laporan IUCN (Meijaard dkk., 2018), yang menyebut pelarangan sawit tidak mengurangi kerusakan hutan global, melainkan memindahkannya ke wilayah lain.
“Permintaan minyak nabati tidak pernah hilang, ia hanya berpindah ke tanaman yang membutuhkan lahan empat sampai sembilan kali lebih luas,” ujarnya.
Meski demikian, Agus menegaskan bahwa Indonesia juga perlu jujur terhadap sejarah. Ia mengakui ekspansi sawit pada periode 1990–2010 memang berkontribusi terhadap deforestasi. Namun, menurutnya, masa lalu tidak bisa digunakan untuk membekukan realitas hari ini.
“Sejak sekitar 2017, laju kehilangan hutan primer Indonesia menurun, moratorium izin berjalan, dan tata kelola mulai diperketat, tetapi cerita tentang perubahan ini jarang ikut terdengar,” katanya.
Dalam pandangannya, persoalan ekologis sawit sejatinya tidak terletak pada tanamannya, melainkan pada tata kelola, lokasi penanaman, pengelolaan tata air, serta konsistensi penegakan hukum. Ketika faktor-faktor tersebut berjalan, jejak lingkungan sawit akan berbeda secara signifikan.
Agus juga menyinggung bahwa negara kini mulai meluruskan tata kelola sawit agar lebih adil, termasuk memperkuat posisi petani, memperbaiki kemitraan, dan memperluas hilirisasi. Namun, ia menekankan bahwa upaya tersebut harus diiringi dengan kepemimpinan narasi di tingkat global.
“Dunia hari ini digerakkan oleh narasi yang dipercaya, bukan semata oleh data yang benar,” ujarnya.
Ia menutup dengan peringatan bahwa jika Indonesia terus membiarkan pihak lain mendefinisikan sawit secara sepihak, maka risiko kebijakan global yang merugikan akan terus berulang. “Dalam kebijakan global, siapa menguasai definisi, dialah yang menulis masa depan,” pungkas Agus.


Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *