sawitsetara.co – PEKANBARU – Ketua Bidang Penelitian dan Keberlanjutan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Dr. Riyadi Mustofa, SE., M.Si., C.EIA, mengatakan petani sawit setuju dan sepakat dengan konsep ekonomi hijau yang diusung kampanye Produksi dan Konsumsi Berkelanjutan (SPC).
“Kami setuju dan sepakat atas apa yang disampaikan dalam SPC. Karena salah satu SPC ini adalah implementasi dari apa semua yang diharapkan oleh sektor perkebunan,” kata Dr. Riyadi dalam agenda Konsultasi Publik di Novotel Pekanbaru, Selasa (25/11/2025).
Agenda ini tajaan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melalui Direktorat Jenderal Tata Ruang, bekerja sama dengan United Nations Environment Programme (UNEP). Merupakan bagian dari upaya pelestarian Kawasan Koridor Ekosistem Riau-Jambi-Sumatera Barat (RIMBA) guna menyusun SPC dalam implementasi Ekonomi Hijau.
Sebagai informasi, SPC adalah kampanye penggunaan produk dan jasa dengan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan, seperti penggunaan sumber daya alam, material beracun, dan emisi limbah, sambil meningkatkan kualitas hidup dan memastikan kebutuhan generasi mendatang dapat terpenuhi.
SPC sendiri memiliki empat visi, yaitu peningkatan pendapatan per kapita, penurunan kemiskinan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, intensitas emisi menurun menuju net zero emission, dan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan dan lestari.
Dr. Riyadi mengatakan, pihaknya sejalan dengan cita-cita ekonomi hijau, menjaga kualitas habitat dan tata air, zero burning atau tidak membakar hutan untuk pembukaan lahan, serta sasaran visi peningkatan pendapatan per kapita yang digalakkan SPC. Menurutnya, peningkatan pendapatan per kapita akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengentaskan kemiskinan, dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia.
“Kami dari asosiasi petani sepakat juga bahwa APKASINDO telah memberikan edaran untuk melakukan zero burning. Karena membakar ini berbahaya untuk diri kita sendiri dan juga berbahaya untuk orang lain. Di dalam persyaratan replanting, kita tetap juga menggunakan zero burning dan juga sudah menggunakan sistem namanya tumbang chipping,” kata pengajar di Universitas Persada Bunda. Indonesia (UPBI) ini.
Di sisi lain, Dr. Riyadi menekankan pentingnya transparansi identifikasi inventarisasi efek gas rumah kaca (GRK) di mana penanaman ulang kelapa sawit diklaim melepaskan emisi terbesar. Padahal, menurut Dr. Riyadi, replanting biasanya dilakukan dengan model sisipan atau tumpang sari sehingga minim lahan terbuka. Pun, replanting dilakukan antara 25 sampai 35 tahun sekali.
“Kalau dari petani, kami berharap ada transparansi hasil identifikasi GRK. Karena isu yang berkembang saat ini, sawit adalah paling banyak melepaskan emisi pada saat replanting. Padahal, replanting yang saya sampaikan tadi, kalau yang di sisip, tidak ada istilahnya lahan terbuka,” ujarnya.
Kemudian, dari aspek rendah emisi dan limbah, SPC menyarankan implementasi pemanfaatan biomassa. Dr. Riyadi mengatakan perkebunan sawit sudah menggunakan beberapa sumber energi seperti fiber, dan juga ada beberapa perusahaan yang sudah menerapkan teknologi metan capture untuk menangkap gas pektan. Namun petani belum, karena itu teknologi sangat mahal.
“Petani masih menggunakan bahan bakar fosil, listrik dari PLN, dan sebagian kecil untuk menggunakan solar cell,” tambahnya.
Selain itu, SPC juga menyarankan penggunaan kompos organik pada lahan kebun. Terkait penggunaan pupuk, Dr. Riyadi menjelaskan saat ini petani sawit masih menggunakan pupuk kimia lantaran ketersediaan pupuk organik tidak konsisten dan belum efisien.
“Kenapa petani masih banyak menggunakan pupuk kimia? Karena bubuk kompos bagi petani ini tidak kontinium dan belum efisien. Ketika kami butuh, terkadang susah mendapatkannya. Sehingga penggunaan bubuk kompos ini bagi kami ini sebatas supplement tambahan.”
Selanjutnya, terkait elaksanaan pemanfaatan limbah cair sebagai pupuk organik, Dr. Riyadi mengatakan sebagian air limbah kelapa sawit hasil dari pabrik kelapa sawit biasanya diaplikasikan sebagai pupuk atau land application. Petani sawit sebagai penerima land application, kata dia, berharap implementasinya memenuhi baku mutu lingkungan dan baku mutu nutrisi yang dibutuhkan petani.
“Sehingga dengan baku mutu nutrisi itu bisa meningkatkan produktivitas,” katanya.
Dr. Riyadi mengatakan petani sawit juga telah mulai menggunakan cara alami untuk menanggulangi hama, alih-alih menggunakan pestisida kimia. Salah satunya dengan menggunakan musuh alami untuk mengusir hama.
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *