
sawitsetara.co – PALI - Kawasan Transmigrasi Petata Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) menjadi sorotan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Program Transmigrasi Ekspedisi Patriot (TEP) yang digelar pada Senin, (20/10/2025). Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Wakil Bupati PALI, Bapak Iwan Tuaji, dan menghadirkan Dr. Dessy Adriani, S.P., M.Si, Ketua Program Studi Agribisnis Universitas Sriwijaya, sebagai pemateri utama.
Dalam sambutannya, Wakil Bupati menyampaikan dukungan penuh terhadap kegiatan riset kolaboratif yang digagas oleh Tim Ekspedisi Patriot Universitas Diponegoro Semarang bersama Kementerian Transmigrasi. Ia menegaskan pentingnya sinergi antara akademisi, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam mengoptimalkan potensi pertanian dan perkebunan rakyat. “Pemerintah Kabupaten PALI siap berkolaborasi untuk mengoptimalkan potensi lokal dan memperkuat ekonomi masyarakat transmigrasi,” ujarnya.
Salah satu topik utama dalam diskusi adalah arah pengembangan komoditas kelapa sawit di wilayah transmigrasi PALI, yang dinilai memiliki prospek ekonomi tinggi. Berdasarkan hasil pemetaan Tim Ekspedisi Patriot, sawit menjadi komoditas potensial dengan tingkat ketertarikan petani mencapai 61,53 persen, melampaui karet 32,96 persen dan padi 3,04 persen. Di empat desa transmigrasi—Sukamaju, Karang Tanding, Tanding Marga, dan Tempirai Selatan—sawit mulai dipilih masyarakat sebagai alternatif ketika produktivitas karet menurun dan harga jualnya tidak stabil.
Menurut Dr. Dessy Adriani, kelapa sawit memang memiliki daya tarik karena harga dan permintaan pasar yang relatif stabil, serta memiliki lebih dari enam puluh produk turunan yang bernilai ekonomi tinggi. Namun, ia menegaskan bahwa pengembangan sawit di PALI tidak boleh dilakukan secara masif tanpa perencanaan yang matang. “Kita harus berhati-hati terhadap konversi besar-besaran dari karet ke sawit. Pengembangan harus berbasis potensi lokal dan mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial, dan keberlanjutan,” jelasnya.
Hasil diskusi kelompok menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat transmigran di kawasan Petata masih menghadapi kendala teknis dan finansial dalam budidaya sawit. Modal usaha yang tinggi, keterbatasan bibit unggul, serta dominasi tengkulak dalam rantai pemasaran menjadi persoalan utama. Harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani hanya berkisar Rp2.500 per kilogram, jauh di bawah harga pabrik sekitar Rp3.600 per kilogram. “Sawit memang menguntungkan, tapi banyak petani kita yang belum siap secara teknis. Ada yang masih menggunakan bibit cabutan dari perusahaan, hasilnya tentu tidak optimal,” ujar Firdaus, Ketua Gapoktan Desa Karang Tanding.
Meski begitu, banyak peserta FGD yang menilai sawit tetap memiliki peluang besar jika dikelola melalui kelembagaan yang kuat dan kemitraan yang sehat. Dr. Dessy menambahkan bahwa pemberdayaan petani perlu diarahkan agar mereka tidak hanya menjadi penanam, tetapi juga pelaku usaha agribisnis yang terlibat dalam rantai nilai. “Petani kecil harus naik kelas. Dari usaha tani tradisional menjadi Badan Usaha Kecil Desa (BUKD) yang mampu bermitra dengan industri pengolahan. Inilah esensi transformasi agribisnis yang berkelanjutan,” tegasnya.
Hasil diskusi FGD juga merekomendasikan agar pemerintah daerah bersama pihak swasta memperluas akses petani terhadap pelatihan budidaya sawit berkelanjutan, pembiayaan usaha, dan pemasaran kolektif. Penguatan koperasi dan pembentukan kemitraan dengan perusahaan besar dinilai penting untuk menekan ketimpangan harga dan meningkatkan posisi tawar petani rakyat. “Kunci keberhasilan ada pada kolaborasi. Ketika petani, pemerintah, dan akademisi berjalan seirama, maka sawit rakyat akan menjadi penggerak ekonomi baru bagi PALI,” tutup Dr. Dessy.


Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *