
sawitsetara.co - Di tengah sorotan tajam dunia terhadap industri kelapa sawit, sebuah film dokumenter dari jantung Kalimantan muncul membawa narasi yang berbeda, lebih seimbang, lebih manusiawi, dan tentu saja, lebih ilmiah berjudul "Palm Oil in the Land of Orangutans"
Film ini diputar dalam sebuah acara khusus di Kopenhagen, Denmark, oleh Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS), bekerja sama dengan KBRI Kopenhagen dan Copenhagen Zoo. Bukan hanya ajang pemutaran film, kegiatan ini menjadi forum dialog internasional tentang bagaimana sawit, yang selama ini dipandang sebagai ancaman bagi hutan tropis, ternyata bisa juga menjadi bagian dari solusi.
Selama delapan tahun dari 2015 hingga 2023 Copenhagen Zoo dan perusahaan United Plantation melakukan pengamatan langsung terhadap kawasan hutan koridor seluas 318 hektare di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Kawasan ini menghubungkan perkebunan sawit dengan hutan lindung. Di sinilah cerita berubah.
Orangutan, satwa yang sering dijadikan simbol kerusakan akibat ekspansi sawit, ternyata bisa bertahan hidup, bahkan berkembang biak di kawasan ini. Kamera menampilkan momen langka orangutan betina menggendong bayi mereka, bersantai di antara pohon-pohon sawit. Tak hanya itu, berbagai spesies burung, serangga, hingga ular tetap hidup dan berkembang secara alami di area yang dikelola dengan pendekatan berkelanjutan.
Temuan ini bukan klaim sepihak. Ini hasil pengamatan bertahun-tahun oleh tim ilmiah, lengkap dengan dokumentasi dan analisis mendalam. Inilah wajah sawit yang jarang mendapat panggung: sawit yang berusaha berdamai dengan alam.
Dalam diskusi yang menyertai pemutaran film, hadir pula Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri RI, Heru Hartanto Subolo, serta para pakar dari berbagai disiplin ilmu. Mereka berbicara tentang pentingnya hutan koridor, penerapan sertifikasi ISPO dan RSPO, serta perlunya pendekatan diplomasi hijau untuk menjembatani kepentingan ekonomi dan ekologi.
Film ini memang tidak menjawab semua persoalan sawit. Tapi ia membuka ruang baru untuk melihat masalah ini secara lebih jernih, berdasarkan data dan pengalaman di lapangan. Bahwa sawit bisa dikelola secara bertanggung jawab. Bahwa konservasi bukan berarti menghentikan pembangunan, tapi mencari titik temu antara keduanya.
Bagi Indonesia, inisiatif ini adalah bagian dari strategi yang lebih besar. Strategi untuk menyampaikan bahwa negeri ini tidak menutup mata terhadap tantangan lingkungan, tetapi juga tidak ingin terus-menerus disalahkan tanpa pemahaman yang utuh. Inilah bukti keterbukaan Indonesia dalam mendiskusikan isu sawit secara ilmiah, berimbang, dan solutif.
Respon terhadap film ini memang beragam. Ada yang menyambutnya sebagai angin segar dalam debat panjang soal sawit dan lingkungan. Ada pula yang skeptis, tetap mempertanyakan dampak jangka panjangnya. Namun justru di sinilah pentingnya dialog. Film ini tidak memberi titik akhir, melainkan membuka awal dari percakapan yang lebih adil dan terbuka.
Palm Oil in the Land of Orangutans bukan sekadar dokumenter. Ia adalah undangan untuk melihat kembali bagaimana kita bisa mengelola sumber daya alam tanpa mengorbankan masa depan satwa dan generasi yang akan datang. Dari hutan di Kalimantan hingga ruang diskusi di Eropa, cerita ini mengajak kita percaya bahwa harmoni antara ekonomi dan ekologi bukan hal mustahil asal ada kemauan dan komitmen bersama.


Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *