
sawitsetara.co - BOGOR — Perdebatan global mengenai kelapa sawit selama ini dinilai lebih banyak digerakkan oleh emosi ketimbang fakta ilmiah. Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB University), Prof. Sudarsono Soedomo, menegaskan bahwa diskursus sawit semestinya dimulai dari data produktivitas dan efisiensi lahan, bukan semata-mata dari narasi moral dan kampanye lingkungan.
Menurut Prof. Sudarsono, sawit merupakan tanaman minyak nabati paling produktif di dunia. Dalam satu hektare lahan, kelapa sawit mampu menghasilkan rata-rata sekitar empat ton minyak per tahun, jauh melampaui tanaman minyak nabati lain seperti sunflower, canola, kedelai, maupun jagung.
“Kalau kita berbicara jujur berbasis angka, sawit itu tanaman minyak paling hemat lahan yang pernah dikembangkan manusia,” ujar Prof. Sudarsono dalam keterangannya di Bogor, Selasa (24/12/2025).
Ia menjelaskan, untuk menghasilkan jumlah minyak yang setara dengan satu hektare sawit, dunia membutuhkan lahan enam kali lebih luas jika menggunakan sunflower, hingga 25 kali lebih luas jika mengandalkan jagung. Fakta ini, menurutnya, sering diabaikan dalam perdebatan global tentang lingkungan dan perubahan iklim.
“Dalam situasi krisis iklim dan keterbatasan lahan global, efisiensi biologis sawit seharusnya menjadi titik awal diskusi, bukan justru disingkirkan,” kata dia.
Lebih jauh, Prof. Sudarsono memaparkan bahwa keunggulan produktivitas sawit membuka peluang skema lingkungan global yang jarang dibicarakan. Secara teoritis, pengembangan sawit di daerah tropis dapat diimbangi dengan penutupan lahan minyak nabati non-sawit di wilayah beriklim sedang untuk kemudian direforestasi.
“Secara matematis sederhana, dunia tidak kehilangan minyak nabati, malah berpotensi menambah luas hutan bersih dan cadangan karbon,” ujarnya.
Dalam skema tersebut, Indonesia dan negara produsen sawit lainnya bahkan berpeluang menjadi pemain aktif dalam pasar karbon global, bukan sekadar objek. Reforestasi di bekas ladang minyak nabati di negara maju dinilai dapat menjadi sumber jasa penyerapan karbon yang nilainya strategis.
Namun demikian, Prof. Sudarsono menilai gagasan rasional semacam ini kerap ditolak bukan karena alasan ekologis, melainkan karena pertimbangan ekonomi politik. Ia menyebut, penerimaan jujur terhadap keunggulan sawit akan mengancam posisi petani minyak nabati non-sawit di negara maju.
“Banyak kampanye anti-sawit itu hijau di lidah, tapi proteksionis di kebijakan. Lingkungan sering dijadikan bahasa yang indah untuk melindungi struktur ekonomi lama,” tegasnya.
Selain produktivitas, ia menambahkan bahwa sawit juga unggul secara biofisik karena merupakan tanaman tahunan. Tidak seperti sunflower, kedelai, atau jagung yang membutuhkan pengolahan tanah setiap tahun, sawit tidak memerlukan pembajakan rutin yang berpotensi melepaskan karbon ke atmosfer.
Meski demikian, Prof. Sudarsono menekankan bahwa keunggulan sawit tidak boleh dijadikan pembenaran bagi praktik perusakan hutan atau tata kelola yang buruk. Menurutnya, keberlanjutan tetap menjadi prasyarat utama.
“Menolak sawit tanpa memahami angka sama saja menolak akal. Lingkungan tidak membaik karena slogan, tetapi karena keputusan yang berani berangkat dari fakta,” katanya.
Ia mengingatkan, diskusi global tentang sawit perlu keluar dari jebakan moral panik dan bergerak menuju rasionalitas berbasis data, jika dunia benar-benar ingin menurunkan emisi dan menekan ekspansi lahan secara berkelanjutan.


Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *