
sawitsetara.co – PEKANBARU - Harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit yang fluktuatif menjadi perhatian utama bagi petani. Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Dr. Defris Hatmaja, SP, M.Si, menjelaskan bahwa naik turunnya harga TBS adalah dinamika pasar.
“Dasar kita menghitung harga TBS itu adalah harga penjualan minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dan kernel (PKO) yang dinamis dari perusahaan kelapa sawit, jadi wajar akan turun-naik,” ujar Defris kepada sawitsetara.co, Kamis (30/10/2025).
Namun, Defris menegaskan upaya untuk menstabilkan harga tetap menjadi prioritas. Salah satu solusi utama untuk menstabilkan harga adalah melalui kemitraan antara kelembagaan pekebun dan pabrik kelapa sawit (PKS) sesuai dengan regulasi yaitu Pergub Riau No. 77 Tahun 2020. Ia menekankan pentingnya kemitraan, terutama bagi petani swadaya.

Kemitraan, kata Defris, akan melindungi tidak hanya petani, juga terhadap industri, saling menguntungkan antara keduanya karena ada kepastian pasar bagi pekebun dan ada kepastian bahan baku yang clean and clean bagi industri sawit nasional.
“Kemitraan ini tentunya upaya kita untuk menunjukkan kelapa sawit yang berkelanjutan tadi, kemitraan yang berkelanjutan salah satunya,” jelasnya.
Saat ini, Provinsi Riau telah berhasil memitrakan pekebun swadaya melalui kelembagaan pekebun dengan PKS, yang menjadi contoh pertama dan satu-satunya di Indonesia. Namun, tantangan utama adalah belum semua petani swadaya kita berkelompok/berlembaga. Dinas Perkebunan terus berkoordinasi dengan Asosiasi dan pemerintah kabupaten untuk mempercepat kemitraan ini secara masif di tingkat akar rumput.

“Petani yang belum bermitra, atau kategori non-mitra, mengikuti mekanisme harga pasar yang seringkali merugikan. Karena mereka tidak ada keterikatan di situ. Tidak ada kemitraan di situ,” kata Defris.
Mengenai batasan kewajaran harga, Defris menjelaskan bahwa regulasi hanya mengacu pada harga penjualan CPO dan PKO. Ia menyebutkan bahwa harga CPO dunia, sebagai penentu harga TBS, dianggap tidak baik di bawah Rp13.000 per kg karena dapat memengaruhi harga umur tanaman muda. idealnya harga CPO di atas angka Rp 15.000-an.
“Kalau pecah harga CPO di bawah Rp 13.000 akan menyebabkan harga TBS umur tiga tahun kurang dari Rp3.000/KG,” tambahnya.

Selain itu, Defris juga menyoroti pentingnya Peningkatan nilai tambah produk bagi petani. “Petani sawit sudah seharusnya tidak hanya menjual TBS. Tapi juga bisa menjual produk turunan ya. Minimal CPO-nya,” ujarnya.
Ia mencontohkan model pengolahan CPO milik kelembagaan petani/KUD pertama di Indonesia yang sudah ada di kabupaten Kuansing melalui sumber dana BPDP yang dikelola oleh petani. Pola ini akan terus pemerintah kembangkan dan duplikasi ke semua kabupaten cluster sawit yang ada di Provinsi Riau.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *