sawitsetara.co – JAKARTA – Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Afaqa Hudaya mengatakan mayoritas petani kecil kelapa sawit di Indonesia masih menghadapi kesenjangan besar dalam memenuhi standar European Union Deforestation Regulation (EUDR). Regulasi ini merupakan syarat yang harus dipenuhi agar sawit bisa diimpor ke negara-negara Eropa.
Data menunjukkan bahwa 69% petani belum mengetahui titik koordinat kebun mereka (geolokasi), dan 67% belum memiliki Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan (STD-B) yang masih berlaku. Walaupun 83% memiliki bukti kepemilikan lahan, validitas administratif dan pemetaan spasial yang diperlukan untuk traceability masih sangat terbatas.
“Kondisi ini menggambarkan lemahnya kesiapan teknis dan kelembagaan petani kecil untuk memenuhi tuntutan legalitas dan keterlacakan yang menjadi inti regulasi EUDR,” ungkap Afaqa.
Pernyataan ini disampaikan Afaqa saat menjadi pembicara dalam diskusi publik bertajuk “Memperkuat Daya Saing Petani Kecil dalam Kerangka EUDR untuk Sawit Berkelanjutan” yang ditaja INDEF secara daring pada Selasa (14/10/2025). Diskusi ini juga diisi pembicara dari Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO).
Menurut Afaqa, lemahnya kesiapan teknis dan kelembagaan petani kecil ini menjadi tantangan yang signifikan karena petani kecil merupakan bagian penting dari rantai pasok kelapa sawit Indonesia. Untuk dapat mematuhi EUDR, petani kecil perlu meningkatkan pengetahuan tentang geolokasi kebun, memiliki STD-B yang berlaku, dan memastikan validitas administratif serta pemetaan spasial lahan mereka.
“Selain itu, diperlukan dukungan dari pemerintah dan pihak terkait untuk meningkatkan kapasitas petani kecil dalam memenuhi standar EUDR,” tambahnya.
Dengan demikian, kata dia, petani kecil dapat terus berkontribusi pada industri kelapa sawit Indonesia dan memastikan bahwa produk kelapa sawit yang dihasilkan tidak terkait dengan deforestasi.
Mayoritas Petani Kecil Kelapa Sawit Beroperasi di Luar Sistem Keberlanjutan
INDEF juga menyoroti fenomena sbagian besar petani kecil kelapa sawit di Indonesia masih beroperasi di luar sistem keberlanjutan global. Data menunjukkan bahwa sekitar 76,7% petani menjual hasil panen mereka melalui agen atau pengepul lokal, bukan melalui koperasi atau pabrik.
Akibatnya, alur produksi menjadi sulit untuk dilacak. Lebih lanjut, 74,5% petani belum memiliki sertifikasi keberlanjutan seperti ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) atau RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), yang merupakan syarat utama untuk mengakses pasar Uni Eropa di bawah regulasi EUDR.
Untuk meningkatkan daya saing petani kecil, strategi yang perlu diterapkan berdasarkan rekomendasi INDEF harus berfokus pada:
1. Penguatan Koperasi
Mengembangkan koperasi sebagai pusat data dan sertifikasi kolektif. Dengan berkumpul dalam koperasi, petani dapat memperoleh pendampingan dan pelatihan yang diperlukan untuk memenuhi standar sertifikasi.
2. Dukungan Pembiayaan Transisi Hijau
Memfasilitasi akses pembiayaan untuk transisi ke praktik pertanian yang lebih berkelanjutan. Ini dapat mencakup bantuan untuk memperoleh sertifikasi, investasi dalam teknologi yang lebih ramah lingkungan, dan pelatihan tentang praktik pertanian berkelanjutan.
“Dengan langkah-langkah ini, diharapkan petani kecil dapat beradaptasi dan tetap menjadi bagian dari rantai pasok global yang berkelanjutan, serta memenuhi persyaratan pasar internasional yang semakin ketat,” katanya.
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *