
sawitsetara.co – JAKARTA – Dewan Pengawas Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS), Sofyan Djalil menegaskan bahwa bencana banjir di Sumatera bukan karena komoditas kelapa sawit. Sebab, hal tersebut tidak sesuai dengan kondisi teknis di lapangan.
“Sekarang misalnya kita lihat ada banjir di Sumatra itu disalahkan sawit. Padahal, perlu diketahui sawit tidak pernah tumbuh di daerah ketinggian,” jelas Sofyan.
Sofyan juga menjelaskan bahwa sawit hanya dapat tumbuh di wilayah datar (flat) dengan ketinggian maksimal sekitar 400 meter di bawah permukaan laut.
Karena itu, s area-area yang mengalami longsor seperti di Aceh dan beberapa wilayah lain umumnya berada di daerah perbukitan dan justru dipenuhi kayu-kayu terbawa arus, bukan tanaman sawit.
“Yang longsor dan lain-lain itu sebenarnya terbawa kali ya di Aceh di mana-mana itu adalah kayu-kayu, tidak ada pohon sawit. Tapi, sekarang sawit salah satu kesempatan untuk disalahkan,” kata Sofyan.

Sofyan menambahkan, persepsi keliru yang telanjur berkembang luas membuat informasi yang tidak tepat lebih cepat dipercaya publik. Karena itu, menurut Sofyan, menjadi tugas IPOSS untuk terus meluruskan berbagai kekeliruan terkait industri sawit. “Teman-teman sekalian dari media, mari kita kampanyekan bahwa sawit ini adalah apa namanya, kalau saya suka mengatakan, angsa yang bertelur emas,” ujar Sofyan.
Sebelumnya, Kepala Pusat Studi Sawit Prof. Budi Mulyanto mengungkapkan janganlah tergesa-gesa dalam mengambil keputusan penyebab banjir di wolayah Sumatera, terlebih menghubung-hungkannya dengan komoditas yang ada di Sumatera seperti kelapa sawit.
“Saya tidak sependapat dengan adanya tudingan bahwa pembukaan hutan untuk kebun sawit sebagai pemicu terjadinya banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera,” ujar Prof. Budi.
Akan tetapi harus diakui bahwa intensitas hujan yang sangat deras bisa menjadi penyebab utama terjadinya bencana (banjir).
Intensitas hujan yang turun pada akhir November lalu mencapai tingkat yang sangat ekstrem, bahkan setara dengan akumulasi hujan selama satu setengah bulan yang turun hanya dalam satu hari. Akibatnya, kondisi tanah yang tidak sanggup menampung volume air yang begitu besar dalam waktu singkat menjadi pemicu utama bencana hidrometeorologi masif di wilayah tersebut.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *