
sawitsetara.co - BANDUNG – Tuduhan bahwa perkebunan kelapa sawit menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan dan banjir kembali menuai kritik. Sejumlah kajian ilmiah menunjukkan narasi negatif terhadap sawit kerap tidak sejalan dengan data empiris. Di saat yang sama, kebijakan pemerintah dinilai belum memberikan perlindungan dan arah yang jelas bagi pengelolaan sawit nasional, khususnya sawit rakyat.
Pengamat sosial dan Wanhat Asosiasi Petani dan Industri Bioenergi (APIB), Memet Hakim, menyebutkan bahwa secara ekologis kebun sawit tidak dapat serta-merta disamakan dengan perusak lingkungan. Ia menilai, dalam banyak aspek, fungsi lingkungan kebun sawit relatif sebanding dengan hutan sekunder, terutama bila dikelola sesuai prinsip praktik terbaik (best management practice).
Data perbandingan penyerapan karbon dan produksi oksigen menunjukkan bahwa kebun kelapa sawit memiliki kinerja ekologis yang kompetitif dibandingkan hutan tropis.

Menurut Memet, tuduhan bahwa sawit menjadi penyebab banjir juga tidak sejalan dengan prinsip hidrologi. Kebutuhan air sawit dinilai setara dengan hutan, yakni sekitar 4–5 milimeter per hari. Selain itu, sistem perakaran sawit yang menyebar horizontal hingga lebih dari 14 meter dinilai mampu menahan erosi dan memperlambat aliran permukaan air.
“Dalam praktiknya, kebun sawit modern juga dilengkapi rorak, saluran drainase, gawangan, hingga tanaman penutup tanah. Bahkan banyak kebun membangun embung untuk memanen air hujan. Jika ini dijalankan, sawit justru berkontribusi pada mitigasi banjir,” kata Memet, dalam keterangan tertulis, Selasa (16/12/2025).
Memet mengakui bahwa perkebunan sawit berpotensi mengganggu habitat satwa liar jika tidak direncanakan dengan baik. Namun menurutnya, persoalan tersebut semestinya diselesaikan melalui penataan ruang, koridor satwa, dan pengelolaan lanskap, bukan dengan stigma menyeluruh terhadap komoditas sawit.

Dari sisi skala dan dampak lingkungan, Memet juga membandingkan Indonesia dan Malaysia. Hasilnya menunjukkan bahwa secara proporsi, tekanan sawit terhadap daratan dan hutan Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan Malaysia.
Meski memiliki lahan jauh lebih luas, produktivitas sawit Indonesia masih tertinggal dari Malaysia. Hal ini, menurut Memet, menunjukkan lemahnya dukungan kebijakan terhadap perawatan kebun, pemupukan, dan pengawasan teknis.
Memet juga mengkritik kebijakan fiskal pemerintah yang dinilai terlalu menekan petani dan BUMN sawit melalui pungutan ekspor dan pembebanan subsidi biodiesel. “Negara agresif menarik pajak dan pungutan, tapi lalai menjalankan fungsi pengawasan dan penyediaan sarana. Petani tertekan, sementara perkebunan besar—termasuk asing—kurang tersentuh,” ujarnya.
Di tengah rencana pemerintah mendorong program biodiesel B100, Memet menilai belum ada langkah konkret untuk meningkatkan produktivitas sawit nasional hingga 60 persen, sebagaimana dibutuhkan program ketahanan energi tersebut. “Target besar, tapi kebijakan masih jalan di tempat,” jelas Memet.
Tanpa pembenahan tata kelola dan konsistensi kebijakan, Memet menilai industri sawit nasional akan terus berada dalam pusaran kampanye hitam global dan kebijakan domestik yang saling bertabrakan.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *