
sawitsetara.co – JAKARTA – Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHRC) menyoroti pentingnya keadilan bagi masyarakat dalam penyelesaian penertiban perkebunan sawit di kawasan hutan. Pemerintah mestinya mempertimbangkan akses pengelolaan lahan hasil sitaan diberikan kepada masyarakat untuk mengelolanya melalui mekanisme mitra, alih-alih ke Agrinas.
“Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, termasuk kebun sawit, kan untuk kemakmuran masyarakat, ini penting untuk diperhatikan,” ujar Gunawan, menggarisbawahi pentingnya aspek sosial dalam kebijakan, seperti dikutip Mongabay dalam laporan pada Senin (10/11/2025).
Ahmad Zazali dari Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (Puraka) juga menyoroti kurangnya keterlibatan masyarakat dalam identifikasi dan verifikasi kebun sawit oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH), yang timbulkan kegelisahan. Ia mencontohkan penyitaan kebun sawit milik masyarakat sebagai bukti kurangnya transparansi dalam implementasi kebijakan yang dianggap sarat kepentingan.
“Selama pembahasan mengenai penertiban perkebunan sawit dalam kawasan hutan, pemerintah terkesan hanya berupaya mengembalikan kerugian negara,” kata Zazali.
Selain itu, pemerintah juga dinilai enggan menyelesaikan konflik agraria antara masyarakat dan korporasi sawit. Sawit Watch mencatat adanya 1.126 kelompok masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan sawit di 22 provinsi, melibatkan 385 perusahaan sawit dalam 131 grup. Konflik tenurial atau agraria mendominasi (55,86%), diikuti masalah kemitraan (9,33%).

“Banyak juga tanah-tanah yang berkonflik perkebunan-perkebunan sawit era-era sebelumnya itu memang agak represif juga mengambil alih tanah-tanah masyarakat tapi sekarang jadi kebun-kebun sawit ekistingnya,” ungkap Zazali.
Adapun, penertiban kebun sawit di dalam kawasan hutan terus berlanjut, memicu berbagai reaksi. Awalnya, kritik muncul terhadap rencana pemutihan kebun sawit, kemudian berlanjut dengan penertiban oleh Satgas PKH. Dampaknya berpotensi besar terhadap petani kecil dan masyarakat yang tinggal di dalam kawasan hutan.
Penertiban ini seharusnya sejalan dengan implementasi Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan, dan Undang-Undang 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Namun, berbagai regulasi tersebut justru “kalah” oleh Undang-Undang Cipta Kerja.
Masih dinukil dari Mongabay, Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo turut menyoroti kontroversi yang timbul. Implementasi UU Cipta Kerja, kata dia, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan pemutihan perkebunan sawit seluas 3,3 juta hektar, sejalan dengan Pasal 110 a dan Pasal 110 b dalam Undang-undang Cipta Kerja.

Kedua pasal tersebut memungkinkan perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan tanpa izin untuk melanjutkan usaha dengan melengkapi persyaratan dalam tiga tahun dan membayar denda administratif. Menurut Achmad, perusahaan dapat memilih membayar denda agar bisnis sawit tetap berjalan dan legal, terutama bagi mereka yang memiliki investor.
Sawit Watch mencatat total luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 17,3 juta hektar, dengan 3,3 juta hektar di antaranya berada di dalam kawasan hutan. Hal ini dianggap ilegal karena melanggar UU PPLH dan UU Kehutanan.
Pemerintah mengambil langkah penguasaan kembali melalui Peraturan Presiden No. 5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan (PKH). Dari 3,3 juta hektar kawasan hutan yang diklaim dikuasai kembali oleh Satgas PKH per 1 Oktober 2025, 1,5 juta hektar diserahkan kepada PT Agrinas Palma Nusantara.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *