Sawitsetara.co – DEPOK – Guru Besar Tetap Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, M.S, melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah terkait penertiban kawasan hutan. Ia menilai bahwa pengambilalihan kebun masyarakat dan perusahaan yang dianggap masuk dalam kawasan hutan berpotensi menimbulkan masalah sosial baru.
“Sekarang ketika mau dihutankan kebun-kebun masyarakat itu, termasuk yang ada di kawasan Tesso Nilo, terus bagaimana? Itu kan masyarakat ribuan orang. Kalau dipindahin, masyarakat bakal makin sejahtera? Kan enggak,” ujar Sudarsono dengan nada prihatin, alam wawancara dengan Majalah Sawit Indonesia pada Selasa (30/9/2025).
Menurutnya, terdapat sekitar 3 juta hektare kebun sawit yang kini menjadi sasaran pemerintah karena dianggap berada di dalam kawasan hutan. Ia menekankan bahwa hal ini mencerminkan lemahnya pengawasan pemerintah di masa lalu. Pun, kata dia, jika lahan sawit dikembalikan ke kawasan hutan, pihaknya menduga tidak bakal dikelola.
“Selama ini kehutanan kerjanya apa? Kok sampai tidak terawasi peralihan lahan sebesar itu. Terus sekarang mau diambil lagi sama Kemenhut, nanti ujung-ujungnya bakal kejadian serupa. Mereka tidak bisa mengelola,” kritiknya pedas.
Solusi Realistis, Keluarkan Kebun Sawit dari Status Kawasan Hutan
Prof. Sudarsono juga mengkritik sikap Kementerian Kehutanan yang masih berpegang pada regulasi lama. Ia mencontohkan konflik lahan di Tesso Nilo dan Gunung Balak, Lampung, yang menurutnya sulit diatasi jika hanya berpatokan pada regulasi tahun 1947.
“Mau dipindahin bagaimana? Kalau memang bisa bikin lebih sejahtera, ya silakan. Tapi emang bisa?” katanya.
Guru besar IPB ini menekankan bahwa penyelesaian konflik kawasan hutan tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan hukum. Ia menyerukan agar pemerintah, DPR, dan aparat penegak hukum lebih memperhatikan aspek sosial.
“Masalahnya, mereka tidak pernah ngecek kondisi sosial. Kejaksaan Agung sebagai backbond seharusnya mencari aturan yang benar. Ini malah menjadikan status kawasan hutan sebagai referensi mutlak,” ujarnya.
Sudarsono mengusulkan solusi yang lebih realistis, yaitu mengeluarkan kebun yang sudah ada dari status kawasan hutan. Ia meyakini bahwa hal ini akan lebih mudah dalam mengatur masyarakat. Ia juga berpendapat bahwa keberadaan kebun sawit jauh lebih menyejahterakan dibandingkan hutan tanaman industri (HTI).
“Sekarang coba lihat di sekitar HTI, itu enggak berkembang juga. Rugi malah masyarakat. Tapi yang sejahtera itu di kebun,” tegasnya. Ia bahkan menyarankan agar industri pulp ditutup karena dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada.
Kontribusi Sektor Kehutanan Kecil, Tak Sebanding dengan Sawit
Sudarsono juga menyoroti kontribusi sektor kehutanan terhadap pendapatan negara yang dinilai sangat kecil, kurang dari satu persen. Sementara itu, investasi di sektor ini juga minim, terutama di luar Pulau Jawa.
Sudarsono menegaskan bahwa industri sawit memberikan manfaat ekonomi yang lebih nyata dibandingkan kehutanan. Ia menyarankan agar kebutuhan kertas dipenuhi melalui impor, sementara lahan lebih difokuskan untuk budidaya sawit.
“Dari mana kebutuhan kertas? Ya beli saja, impor. Mending tanam sawit, bisa lebih kaya kita. Kertas tinggal beli, harganya jauh di bawah sawit,” ucapnya.
Sebagai penutup, Sudarsono menyindir klaim potensi kehutanan yang kerap berlebihan. Ia mengibaratkan potensi besar yang tidak realistis dengan perumpamaan berlian.
“Mereka bilang potensi madu kita ratusan ribu ton. Sekarang saya tanya: mending dapat berlian sebesar kepalan tangan di kamar sendiri atau dua kepalan tangan di dasar laut Aceh? Pilih yang kecil kan, tapi di kamar kita. Potensi besar itu percuma kalau tidak realistis. Mending 2 ton di kampung sendiri, ketimbang klaim ratusan ribu ton dari Sabang sampai Merauke,” katanya.
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *