KONSULTASI
Logo

Legalitas Lahan Sawit di Indonesia, Hanya Kawasan Hutan Produksi yang Boleh Dikonversi

10 November 2025
AuthorDwi Fatimah
EditorDwi Fatimah
Legalitas Lahan Sawit di Indonesia, Hanya Kawasan Hutan Produksi yang Boleh Dikonversi
HOT NEWS

sawitsetara.co - Pemerintah Indonesia menegaskan kembali bahwa proses alokasi lahan untuk perkebunan, termasuk kelapa sawit, harus mengikuti aturan hukum yang berlaku. Hanya kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (convertible forest) yang boleh dialihfungsikan menjadi lahan non-hutan untuk kegiatan budidaya. Kawasan hutan lindung dan konservasi dilarang keras digunakan untuk aktivitas perkebunan.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan di Indonesia terbagi menjadi tiga fungsi utama:

- Hutan Produksi,

- Hutan Lindung, dan

- Hutan Konservasi.

Hanya hutan produksi, khususnya yang berstatus “kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK)”, yang dapat dilepaskan dan dimanfaatkan untuk kegiatan non-kehutanan seperti perkebunan sawit. Proses perubahan fungsi kawasan hutan menjadi lahan perkebunan tidak bisa dilakukan sembarangan. Pemerintah pusat, melalui kementerian terkait, memiliki kewenangan untuk menerbitkan Surat Keputusan (SK) Pelepasan Kawasan Hutan Produksi untuk Konversi, yang kemudian diikuti oleh penerbitan Izin Lokasi, Izin Usaha Perkebunan (IUP), hingga Hak Guna Usaha (HGU).

Regulasi berjenjang ini bertujuan untuk mencegah praktik “serobot lahan” atau alih fungsi kawasan hutan tanpa izin. Dalam sektor perkebunan sendiri, dasar hukum pelaksanaan usaha telah diatur melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 21 Tahun 2017 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, yang menjadi panduan utama legalitas usaha perkebunan sawit.



Sawit Setara Default Ad Banner

Namun, di lapangan masih ditemukan banyak kasus perkebunan sawit yang beroperasi di dalam kawasan hutan tanpa prosedur legal. Beberapa penyebab pelanggaran tersebut antara lain:

- Lahan sawit berada di dalam kawasan hutan produksi, lindung, atau konservasi yang belum dilepaskan secara resmi.

- Prosedur izin tidak lengkap atau tidak sesuai urutan.

Menurut sejumlah laporan, luas perkebunan sawit yang berada dalam kawasan hutan mencapai jutaan hektar, menunjukkan masih lemahnya sinkronisasi data antar lembaga. Pemerintah mengatur mekanisme penyelesaian untuk perkebunan sawit yang sudah terlanjur berada di kawasan hutan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.


Sawit Setara Default Ad Banner

Terdapat dua pasal utama yang mengatur hal ini:

- Pasal 110A: Diperuntukkan bagi usaha sawit yang sudah memiliki izin sebelum UU Cipta Kerja berlaku dan sesuai tata ruang, namun ternyata berada di kawasan hutan. Pelaku usaha diberi waktu untuk melengkapi persyaratan tanpa langsung dikenai sanksi pidana.

- Pasal 110B: Mengatur kegiatan perkebunan sawit yang beroperasi di kawasan hutan tanpa izin kehutanan sama sekali.

Pelanggaran ini dikenai sanksi administratif berupa penghentian usaha, denda, hingga pencabutan izin. Pemerintah telah menetapkan 2 November 2023 sebagai batas akhir penyelesaian legalisasi perizinan untuk seluruh perkebunan sawit dalam kawasan hutan.

Walaupun regulasi sudah cukup jelas, tantangan utama masih terletak pada sinkronisasi data kawasan hutan, tata ruang, dan izin usaha, serta pengawasan di lapangan. Konflik lahan antara masyarakat, perusahaan, dan negara juga masih sering terjadi.

Beberapa pihak menilai, kebijakan penyelesaian ini bisa membuka celah bagi praktik legalisasi lahan bermasalah jika tidak diawasi dengan ketat. Oleh karena itu, transparansi dan penegakan hukum tetap menjadi kunci agar pengelolaan lahan sawit berjalan berkelanjutan.

Secara prinsip, sistem hukum Indonesia menegaskan bahwa hanya kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi lahan non-hutan untuk kegiatan perkebunan sawit. Setiap pelaku usaha wajib mengikuti seluruh tahapan perizinan mulai dari SK Pelepasan Kawasan hingga HGU. Jika ditemukan pelanggaran prosedur, maka kegiatan tersebut dinyatakan melanggar hukum dan dapat dikenai sanksi administratif hingga pencabutan izin.


Berita Sebelumnya
GAPKI Soroti Lambatnya PSR dan Dampak Kebijakan B50 terhadap Ekspor maupun Harga Minyak Goreng

GAPKI Soroti Lambatnya PSR dan Dampak Kebijakan B50 terhadap Ekspor maupun Harga Minyak Goreng

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono menyampaikan pandangannya terkait sejumlah isu krusial dalam industri kelapa sawit. Mulai dari lambatnya peremajaan sawit rakyat (PSR) hingga potensi dampak kebijakan B50 terhadap ekspor dan harga minyak goreng dalam negeri.

| Berita

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *