
sawitsetara.co – TENGGARONG – Hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur, kini telah menjadi wilayah operasi perusahaan kelapa sawit. Berdasarkan data Dinas Perkebunan Kutai Kartanegara, total luas perkebunan kelapa sawit di daerah ini telah mencapai sekitar 445.000 hektare, menjadikannya salah satu sentra sawit terbesar di provinsi tersebut.
Besarnya luasan ini mencerminkan laju ekspansi sektor kelapa sawit yang cukup pesat di Kukar dalam beberapa tahun terakhir. Namun di balik pertumbuhan tersebut, persoalan kemitraan antara perusahaan perkebunan dan petani sawit rakyat masih menjadi pekerjaan rumah besar. Hingga kini, pola kemitraan yang diharapkan mampu memperkuat posisi petani dinilai belum berjalan optimal.

Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Kutai Kartanegara, Jumadi, mengungkapkan bahwa terdapat berbagai hambatan struktural yang menyebabkan kemitraan sulit terwujud. Menurutnya, sebagian besar perusahaan hanya bersedia bermitra dengan petani plasma, yakni petani yang kebunnya sejak awal dibangun oleh perusahaan.
“Saat ini hubungan petani rakyat dan perusahaan hanya sebatas jual beli TBS saja. Tidak ada kerjasama atau kontrak yang terjalin. Sehingga harga sawit petani juga tidak dibeli sesuai dengan harga penetapan Disbun,” ujarnya, dikutip elaeis.co, Rabu (17/12/2025).
Jumadi menegaskan, kondisi tersebut membuat posisi tawar petani sawit mandiri menjadi sangat lemah di hadapan perusahaan. Ia berharap ke depan ada perubahan kebijakan dan pola hubungan yang lebih adil, sehingga petani tidak hanya diposisikan sebagai pemasok bahan baku semata.
“Harapan kami ke depannya, perusahaan bisa bermitra dengan petani dalam pengelolaan kebun sawit,” sambungnya.

Lebih lanjut, Jumadi menjelaskan bahwa salah satu kendala utama petani untuk masuk dalam skema kemitraan adalah ketidakmampuan memenuhi standar teknis yang ditetapkan perusahaan. Salah satunya terkait rendemen tandan buah segar (TBS) yang dipatok minimal 20 persen.
Rendahnya rendemen ini, kata dia, bisa disebabkan oleh minimnya pengetahuan petani dalam praktik budidaya sawit yang baik, serta keterbatasan modal untuk melakukan pemeliharaan kebun secara optimal.
“Sudah tidak bermitra, lantaran rendemen tidak tercapai perusahaan justru memberlakukan pemotongan 3–5% buah yang petani jual ke pabrik. Ahmad juga lantaran cara panen yang salah yakni buah mengkal atau bahkan buah restan,” kata dia.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *