KONSULTASI
Logo

Mandatori B50 Indonesia Disorot Dunia, Industri Sawit Dituding Bisa Hilang dari Pasar Global

5 November 2025
AuthorDwi Fatimah
EditorDwi Fatimah
Mandatori B50 Indonesia Disorot Dunia, Industri Sawit Dituding Bisa Hilang dari Pasar Global
HOT NEWS

sawitsetara.co - Kebijakan pemerintah Indonesia yang berencana menerapkan mandatori bahan bakar solar dengan campuran 50 persen bahan nabati (fatty acid methyl ester/FAME) atau Biodiesel B50 kini menjadi sorotan dunia. Langkah ambisius yang sejatinya bertujuan memperkuat kemandirian energi nasional itu justru dinilai sebagian pihak sebagai bentuk “paksaan” akibat tekanan dari Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang memperketat perdagangan minyak sawit di pasar global.

Sorotan tajam datang dari Ketua Dewan Minyak Sawit Malaysia (Malaysian Palm Oil Board/MPOB), Mohamad Helmy Othman Basha, dalam acara Roundtable Conference on Sustainable Palm Oil (RT2025) yang digelar oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) di Kuala Lumpur, Selasa (4/11). Dalam forum tahunan yang menjadi ajang berkumpulnya pelaku industri sawit global itu, Helmy menilai kebijakan B50 bisa menjadi langkah defensif yang berpotensi meminggirkan sawit dari rantai pasok dunia.

“Negativitas yang tak henti-hentinya terhadap minyak sawit telah menyebabkan beberapa pasar menolaknya. Dan begitu, para penentang minyak sawit mungkin segera mendapatkan keinginannya — dunia sudah menyaksikan hilangnya minyak sawit secara bertahap dari pasar global,” ujar Helmy di hadapan para pelaku industri sawit internasional.

Sawit Setara Default Ad Banner

RT2025 sendiri merupakan konferensi terbesar di dunia yang membahas masa depan industri sawit berkelanjutan. Tahun ini, forum tersebut mengangkat tema “Building the Next 20: Sustainability in Action”, yang menandai dua dekade perjalanan RSPO dalam mendorong tata kelola sawit yang lebih hijau dan transparan.

Dalam pidatonya, Helmy yang juga menjabat sebagai Direktur Utama Sime Darby Plantation — salah satu perusahaan sawit terbesar di dunia — menyebut bahwa bias dan aturan yang terlalu menekan negara berkembang dapat berujung pada ketidakseimbangan global. Ia menilai dunia sedang menghadapi risiko kekurangan pasokan minyak nabati karena terlalu keras menekan minyak sawit, padahal sawit merupakan minyak nabati paling efisien dan produktif dibandingkan alternatif lain.

“Dunia bisa kehilangan akses ke minyak nabati yang paling efisien, paling produktif, dan paling berkelanjutan,” tegas Helmy.

Sawit Setara Default Ad Banner

Helmy juga menyoroti data World Resources Institute (WRI) dan Global Forest Watch yang menunjukkan bahwa kehilangan hutan primer di Indonesia dan Malaysia telah menurun signifikan dalam satu dekade terakhir. Kedua negara bahkan memiliki lebih dari 50 persen tutupan hutan, jauh di atas banyak negara maju. Namun, EUDR tetap menempatkan Indonesia dan Malaysia dalam kategori “risiko standar”, sementara negara dengan tutupan hutan lebih rendah justru dikategorikan “risiko rendah”.

“Menerapkan standar tunggal untuk perubahan penggunaan lahan tidak adil. Dan memberlakukan standar yang lebih ketat pada negara berkembang adalah bentuk apartheid ekonomi,” kata Helmy menegaskan.

Ia juga menyinggung standar ganda negara maju, yang menurutnya sering kali menutup mata terhadap industri bahan bakar fosil — penyumbang terbesar emisi karbon dunia. “Norwegia menjadi kaya berkat minyak bumi dan tetap menjadi salah satu eksportir minyak mentah terbesar dunia. Belanda, negara agraris yang besar, memiliki lebih banyak ternak daripada penduduknya,” ucapnya.


Berita Sebelumnya
Petani Sawit Riau Raih Sertifikat RSPO Pertama di Lingkungan PTPN III

Petani Sawit Riau Raih Sertifikat RSPO Pertama di Lingkungan PTPN III

Di antara hamparan hijau sawit muda yang membingkai perkampungan asri di barat Bumi Pertiwi, tersimpan kisah besar dari sebuah desa kecil bernama Kumain. Desa ini kini menjadi sorotan nasional, bahkan internasional.

6 November 2025 | Berita

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *