
sawitsetara.co - JAKARTA – Kebijakan mandatori biodiesel berbasis kelapa sawit dinilai tidak cukup jika hanya dikejar dari sisi peningkatan serapan domestik. Tanpa fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi terhadap dinamika pasar global, kebijakan tersebut justru berpotensi menempatkan Indonesia pada posisi yang kurang menguntungkan dalam persaingan industri sawit dunia.
Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Eugenia Mardanugraha, mengingatkan bahwa pendekatan kebijakan yang terlalu rigid dapat berdampak negatif terhadap daya saing sawit nasional, meskipun secara jangka pendek terlihat menguntungkan dari sisi harga.
Peringatan itu disampaikan Eugenia dengan merujuk pada hasil riset Pranata Universitas Indonesia (UI) yang mengkaji dampak peningkatan mandatori biodiesel. Dalam riset tersebut, peningkatan mandatori hingga B50 diproyeksikan mampu mendorong harga minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) internasional naik hingga USD 159,32 per metrik ton.
Namun, menurut Eugenia, lonjakan harga tersebut menyimpan konsekuensi yang tidak sederhana bagi posisi Indonesia di pasar global.
“Kenaikan harga memang terlihat positif dalam jangka pendek, tetapi dalam perspektif persaingan usaha, hal ini justru bisa menggerus posisi kompetitif sawit Indonesia di pasar global,” ujar Eugenia.
KPPU menilai, di tengah persaingan antarnegara produsen, fleksibilitas kebijakan menjadi faktor penentu agar Indonesia tidak tertinggal dari negara pesaing seperti Malaysia, Brasil, dan Thailand, yang dinilai lebih adaptif dalam mengelola kebijakan biodiesel sesuai kondisi pasar.
Malaysia kerap dijadikan contoh dalam pengelolaan kebijakan biodiesel sawit yang lebih luwes. Pemerintah Negeri Jiran mampu menyesuaikan alokasi minyak sawit antara kebutuhan domestik dan ekspor mengikuti pergerakan harga global, tanpa mengorbankan stabilitas harga di tingkat petani maupun penerimaan devisa negara.
Pendekatan tersebut memberi ruang bagi Malaysia untuk mengambil peluang ketika pasar global mengalami kekosongan pasokan. Saat Indonesia menerapkan kebijakan biodiesel yang relatif ketat, Malaysia justru mampu mengisi celah ekspor dan memanfaatkan momentum kenaikan harga sawit dunia.
Keberadaan Bursa Malaysia Derivatives (BMD) semakin memperkuat posisi Malaysia sebagai salah satu rujukan utama pembentukan harga CPO futures global. Dalam situasi tersebut, Indonesia dinilai berisiko kehilangan sebagian kendali atas mekanisme pembentukan harga, meskipun tetap berstatus sebagai produsen sawit terbesar di dunia.
“Ketika kebijakan kita terlalu rigid, pasar global akan cepat beradaptasi. Negara lain akan mengambil peluang yang justru kita lepaskan,” kata Eugenia.
Atas dasar itu, KPPU mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan formulasi kebijakan mandatori biodiesel yang lebih fleksibel dan berbasis dinamika pasar. Pendekatan tersebut dinilai penting agar agenda hilirisasi energi terbarukan tetap berjalan, tanpa harus mengorbankan daya saing sawit Indonesia di tingkat global.


Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *