KONSULTASI
Logo

Narasi Deforestasi Menguat di Tengah Bencana, Pakar Ingatkan Masalah Sistemik

24 Desember 2025
AuthorHendrik Khoirul
EditorDwi Fatimah
Narasi Deforestasi Menguat di Tengah Bencana, Pakar Ingatkan Masalah Sistemik
HOT NEWS

Sawitsetara.co – JAKARTA – Bencana hidrometeorologi yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera pada akhir November lalu dinilai bukan sekadar peristiwa alam, melainkan peringatan keras atas rapuhnya tata kelola pembangunan nasional.

Direktur Eksekutif Human Studies Institute, Dr. Rasminto, menyebut rangkaian bencana tersebut sebagai ujian nyata terhadap komitmen negara dalam menjalankan amanat konstitusi.

Seperti dilansir dari HaiSawit, hal itu disampaikan Rasminto dalam diskusi bertajuk “Quo Vadis Konstitusi dan Krisis Ekologis: Belajar dari Bencana Hidrometeorologi Sumatera” pada Selasa (23/12/2025).

Menurut dia, posisi Indonesia yang berada di kawasan Ring of Fire menjadikan negara ini sangat rentan terhadap berbagai jenis bencana, mulai dari gempa bumi, letusan gunung api, hingga banjir dan longsor.

Namun, kerentanan alam tersebut menjadi semakin berbahaya ketika pembangunan berjalan tanpa keseimbangan.

“Segitiga pembangunan—lingkungan, sosial, dan ekonomi—seharusnya seimbang. Faktanya, yang terjadi justru sebaliknya,” ujarnya.

natal dpp

Rasminto menilai, persoalan tidak hanya terjadi di tingkat masyarakat, tetapi juga melibatkan birokrasi dan kelompok ekonomi besar. Praktik pembangunan dinilai mengabaikan keberlanjutan generasi mendatang, sementara penegakan hukum kerap dipertanyakan efektivitasnya.

Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah kerangka hukum dan konstitusi sudah cukup kuat, atau justru lemah dalam implementasi.

Ia menegaskan bahwa bencana yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukanlah fenomena baru. Menurutnya, akar persoalan dapat ditarik ke periode pasca-Reformasi 1998.

“Pada masa Orde Baru, zonasi kawasan sangat tegas. Ada kawasan lindung yang tidak bisa diubah. Pasca-reformasi, pembatas itu menjadi longgar,” katanya.

Pelonggaran tersebut berdampak luas terhadap kondisi ekologis di berbagai daerah. Rasminto menyoroti fragmentasi kawasan hutan, terutama di luar Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, yang berubah menjadi kavling perumahan maupun konsesi industri.

Ia menyebut sekitar 1,4 juta hektar hutan telah hilang akibat aktivitas industri, sehingga fungsi hidrologis hutan terus menurun. Kondisi daerah aliran sungai (DAS) pun semakin kritis. Tutupan hutan di sejumlah wilayah Sumatera dilaporkan hanya tersisa sekitar 66–70 persen.

“Tidak heran, saat hujan ekstrem datang, gelondongan kayu ikut menghantam permukiman,” ujarnya.

natal dpp

Dari sisi dampak, Rasminto mencatat bencana hidrometeorologi Sumatera telah menelan korban besar. Sebanyak 1.112 orang dilaporkan meninggal dunia, 176 orang masih dinyatakan hilang, ratusan ribu warga terpaksa mengungsi, dan kerugian ekonomi diperkirakan melampaui Rp 54 triliun.

Selain kerugian material, ia juga menyoroti munculnya dampak sosial-politik, khususnya di Aceh, terkait sorotan publik atas lambatnya penanganan darurat yang ramai diperdebatkan di media sosial.

Dalam diskusi tersebut, Rasminto mengingatkan agar sawit tidak dijadikan kambing hitam tunggal dalam setiap isu kebencanaan.

“Isu bencana sering digoreng menjadi tudingan deforestasi sawit, padahal persoalannya lebih sistemik,” ujarnya.

Ia menilai, akar masalah sesungguhnya terletak pada kebijakan pasca-Reformasi yang permisif terhadap deforestasi dan praktik ekstraktif, baik di sektor tambang, migas, maupun perkebunan, atas nama pertumbuhan ekonomi.

Meski demikian, Rasminto mengapresiasi langkah awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang dinilai mulai menunjukkan ketegasan.

natal dpp

Melalui Kementerian Kehutanan, pemerintah telah mencabut izin pemanfaatan hutan dengan total luasan sekitar 750 ribu hektar. Selain itu, sejak Februari 2025, sebanyak 18 izin Persetujuan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dengan luasan lebih dari setengah juta hektar juga dicabut.

“Ini sinyal bahwa regulasi kehutanan tidak bisa ditawar,” katanya.

Penguatan kebijakan tersebut diperkuat dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan serta pembentukan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).

Hingga kini, lebih dari 3,7 juta hektar kawasan hutan telah ditetapkan kembali. Menurut Rasminto, kebijakan ini mulai berdampak pada aktor-aktor besar, termasuk kelompok oligarki di sektor sawit, pertambangan, dan migas.

Namun demikian, ia mengingatkan bahwa perlawanan terhadap penegakan hukum juga semakin masif. Bentuknya beragam, mulai dari disinformasi, penggunaan akun palsu lintas platform, serangan personal, hingga upaya pengaburan isu kebencanaan.

“Percuma bicara konstitusi dan krisis ekologi jika penegakan hukumnya dikalahkan oleh kepentingan sempit,” ujarnya.

Rasminto menutup diskusi dengan menegaskan pentingnya menjadikan konstitusi sebagai pijakan nyata dalam pembangunan. Pasal 28H dan Pasal 33 UUD 1945, yang menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, harus benar-benar ditegakkan.

Sawit, menurutnya, tidak harus selalu diposisikan sebagai sumber masalah. Dengan penegakan hukum yang konsisten dan tata kelola yang adil, sektor ini justru berpotensi menjadi bagian dari solusi pembangunan berkelanjutan.


Berita Sebelumnya
Harga TBS Plasma Riau Periode Akhir Desember 2025–Januari 2026 Naik Tipis

Harga TBS Plasma Riau Periode Akhir Desember 2025–Januari 2026 Naik Tipis

Hasilnya, harga TBS mengalami kenaikan tipis, dengan harga tertinggi terjadi pada kelompok umur tanaman 9 tahun.

23 Desember 2025 | Harga TBS

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *