KONSULTASI
Logo

Narasi Sawit Dituding Perusak Lingkungan Dinilai Menyesatkan: Masalahnya Tata Kelola, Bukan Komoditas

17 Desember 2025
AuthorHendrik Khoirul
EditorDwi Fatimah
Narasi Sawit Dituding Perusak Lingkungan Dinilai Menyesatkan: Masalahnya Tata Kelola, Bukan Komoditas
HOT NEWS

sawitsetara.co – JAKARTA – Narasi yang menyudutkan kelapa sawit sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan kembali menguat di ruang publik. Tudingan tersebut dinilai berbahaya jika disederhanakan tanpa melihat akar persoalan secara utuh.

Presiden Indonesian Islamic Business Forum (IIBF), DR (HC) Heppy Trenggono, M.Kom, menegaskan bahwa persoalan utama industri sawit nasional bukan pada komoditasnya, melainkan pada tata kelola dan integritas pengelolaannya.

“Jika pelanggaran tata kelola digeneralisasi menjadi kesalahan komoditas, kita sedang salah sasaran. Yang bermasalah adalah caranya, bukan sawitnya,” kata Heppy dalam keterangan tertulis pada Rabu (7/12/2025) menanggapi menguatnya kampanye negatif terhadap kelapa sawit Indonesia.

Sawit Setara Default Ad Banner

Ia mengingatkan bahwa kelapa sawit merupakan salah satu tulang punggung perekonomian nasional. Pada 2023, produksi crude palm oil (CPO) Indonesia mencapai sekitar 46–48 juta ton per tahun.

Industri ini menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja, baik langsung maupun tidak langsung, serta menjadi sumber penghidupan bagi sekitar 2,6 juta petani sawit rakyat. Kontribusi devisanya pun konsisten berada di kisaran USD 30–35 miliar per tahun.

“Angka-angka ini menunjukkan sawit bukan sektor pinggiran. Ini kekuatan ekonomi strategis bangsa yang tidak bisa diabaikan,” ujar Heppy.

Meski demikian, Heppy tidak menutup mata terhadap persoalan yang ada. Pemerintah mencatat sekitar ±3 juta hektare kebun sawit berada di kawasan hutan akibat pembukaan lahan ilegal dan pelanggaran perizinan. Penertiban dan pengambilalihan oleh negara dinilainya sebagai langkah korektif yang penting untuk memperbaiki tata kelola industri sawit nasional.

“Langkah penertiban itu perlu. Tetapi jangan kemudian kesalahan oknum dan lemahnya pengawasan dijadikan alasan untuk menghakimi seluruh komoditas sawit,” tegasnya.

Heppy juga menekankan bahwa secara regulasi, sawit telah memiliki standar keberlanjutan yang jelas. Di tingkat global terdapat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), sementara di dalam negeri Indonesia menerapkan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang bersifat wajib.

Standar ini mencakup perlindungan hutan bernilai konservasi tinggi, penghormatan terhadap hak masyarakat adat, serta praktik pertanian berkelanjutan.

“Masalahnya bukan ketiadaan aturan, tetapi inkonsistensi penegakan. Ketika standar tidak ditegakkan dengan tegas, celah pelanggaran akan selalu ada,” ujarnya.

Sawit Setara Default Ad Banner

Lebih jauh, Heppy menyoroti fakta yang jarang diungkap dalam perdebatan global, yakni efisiensi lahan kelapa sawit. Sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati paling produktif di dunia, dengan rata-rata 3–4 ton minyak per hektare per tahun. Angka ini jauh melampaui bunga matahari, kedelai, maupun rapeseed yang hanya menghasilkan 0,4 hingga 1 ton minyak per hektare per tahun.

“Artinya, untuk menghasilkan satu ton minyak, tanaman non-sawit membutuhkan lahan 4 sampai 8 kali lebih luas. Kalau tujuan global benar-benar ingin mengurangi tekanan terhadap hutan, secara logika ekologis sawit justru bagian dari solusi,” jelasnya.

Ia juga menyinggung sikap negara-negara maju yang kerap mengkritik sawit Indonesia. Uni Eropa, misalnya, menanam lebih dari 10 juta hektare rapeseed dan sunflower, sementara Amerika Serikat dan Amerika Selatan menanam lebih dari 120 juta hektare kedelai. Namun, luas perkebunan minyak nabati non-sawit tersebut jarang disorot sebagai ancaman lingkungan global.

“Sulit menutup mata bahwa sawit Indonesia adalah pesaing serius yang menekan dominasi minyak nabati mereka. Di sinilah narasi lingkungan sering bercampur dengan kepentingan ekonomi,” kata Heppy.

Menurutnya, pelajaran penting juga bisa diambil dari Malaysia yang relatif lebih konsisten dalam tata kelola dan komunikasi kebijakan sawit. Dengan luas perkebunan lebih kecil, Malaysia mampu menjadikan sawit sebagai pilar ekonomi tanpa tekanan kampanye global sebesar yang dialami Indonesia.

Pada akhirnya, Heppy menegaskan bahwa krisis reputasi sawit Indonesia berakar pada persoalan integritas, bukan pada komoditasnya. Pembukaan lahan ilegal, lemahnya pengawasan, serta kompromi terhadap standar keberlanjutan harus dibenahi secara serius.

“Solusinya bukan melarang sawit, tetapi membersihkan industrinya. Bangsa yang besar tidak bunuh diri dengan menolak kekuatannya sendiri. Bangsa besar memperbaiki caranya mengelola kekuatan itu,” pungkas Heppy Trenggono.


Berita Sebelumnya
HUT ke-25, Petani Sawit: APKASINDO Beri Dampak Besar Bagi Petani Kecil di Daerah-daerah

HUT ke-25, Petani Sawit: APKASINDO Beri Dampak Besar Bagi Petani Kecil di Daerah-daerah

Berdiri sejak 25 tahun lalu, tepatnya pada 28 Oktober 2000, hari ini Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) genap memasuki tahun perak. Salah satu organisasi tani terbesar di Tanah Air ini telah menjadi jembatan antara petani sawit dan pemerintah untuk memperjuangkan kepentingan petani sawit.

| Berita

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *