
sawitsetara.co – JAKARTA – Prof. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam menertibkan kawasan hutan, khususnya yang berkaitan dengan perkebunan sawit rakyat. Ia menekankan pentingnya belajar dari sejarah keruntuhan industri gula Indonesia pasca-nasionalisasi.
Penurunan produksi gula yang drastis pasca-nasionalisasi disebabkan oleh tiga faktor utama: kerusakan institusi, sistem insentif yang tidak tepat, dan ketidakstabilan kebijakan. Sebelum nasionalisasi, industri gula Indonesia sangat kuat, dengan konglomerasi seperti Oei Tiong Ham Group yang menguasai rantai pasok dari hulu hingga hilir.
“Ketika nasionalisasi dilakukan, yang dialihkan bukan hanya aset fisiknya. Struktur organisasi, pengetahuan manajerial, dan ekosistem bisnis ikut hilang,” ujar Prof. Sudarsono, seperti dilansir dari ekbis.sindonews.com, Rabu (12/11/2025).
Menurut dia, hilangnya tata kelola berbasis keahlian menurunkan efisiensi teknis. Pergeseran dari logika bisnis ke administrasi birokratis mengaburkan insentif bagi petani, menurunkan produktivitas. Ketidakstabilan kebijakan harga, impor, dan peremajaan pabrik juga menghilangkan orientasi jangka panjang.

“Industri gula adalah industri jangka panjang. Jika kebijakan sering berubah, investasi dan peningkatan kapasitas tidak mungkin berjalan berkelanjutan,” katanya.
Sebagai perbandingan, Thailand dan Brasil berhasil menjaga stabilitas industri gula melalui integrasi kebun-pabrik, penentuan harga berbasis rendemen, dan mekanisme bagi hasil yang jelas.
Produksi gula dunia pada 2024/2025 diperkirakan mencapai 175,6 juta ton, dengan Brasil dan India sebagai produsen utama. Indonesia, dengan produksi 2,6 juta ton, masih kalah dari Thailand (10 juta ton) dan harus mengimpor gula besar-besaran karena konsumsi nasional mencapai 7,8 juta ton.
Pelajaran dari keruntuhan industri gula menunjukkan bahwa penurunan kapasitas produksi bukan karena faktor teknis, melainkan kesalahan kebijakan dalam pengelolaan aset strategis. Nasionalisasi yang lebih menonjolkan kontrol politik dibanding kompetensi industri melemahkan daya saing nasional.

“Kondisi ini relevan dengan kebijakan penertiban kawasan hutan saat ini. Jika aset perkebunan, termasuk sawit rakyat, dialihkan tanpa memastikan keberlanjutan produksi dan kompetensi pengelola, maka Indonesia berisiko mengulang kesalahan yang sama seperti pada industri gula,” papar Sudarsono.
Satgas PKH telah menguasai kembali 3.404.522,67 hektare kawasan hutan hingga 1 Oktober 2025, dan menyerahkan 1.507.591,9 hektare lahan kelapa sawit kepada PT Agrinas Palma Nusantara. Sudarsono mengingatkan bahwa banyak kebun sawit rakyat masuk kategori kawasan hutan secara de jure, meski telah dikelola puluhan tahun secara de facto.
Ia menilai penyitaan atau pembatasan operasional tanpa kerangka keberlanjutan berpotensi merusak ekonomi lokal. “Penguasaan aset tidak otomatis berarti kemampuan mengelola. Jika aset sawit dialihkan tanpa memastikan kompetensi pengelola, kita berpotensi mengulang kesalahan historis yang sama seperti di industri gula,” tegasnya.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *