sawitsetara.co - Pemerintah memperketat pengawasan terhadap aktivitas perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025 yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 19 September 2025, pemerintah menetapkan besaran denda administratif bagi pelaku usaha atau individu yang membuka kebun sawit di kawasan hutan tanpa izin, sebesar Rp 25 juta per hektare.
Kebijakan ini diatur dalam perubahan atas PP Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di bidang kehutanan. Aturan tersebut sekaligus memperkuat peran pemerintah dalam menertibkan kegiatan usaha yang terbangun di kawasan hutan, baik perkebunan maupun pertambangan.
Dalam beleid terbaru itu, besaran denda administratif dihitung menggunakan rumus:
D = L x J x TD,
dengan D sebagai denda administratif, L adalah luas lahan dalam hektare, J merupakan jangka waktu pelanggaran (dalam tahun), dan TD adalah tarif denda yang ditetapkan sebesar Rp 25 juta per hektare.
Jangka waktu pelanggaran dihitung sejak kegiatan membuka lahan hutan dilakukan, dikurangi 5 tahun sebagai masa tidak produktif tanaman kelapa sawit.
Sebagai ilustrasi, seorang petani sawit rakyat memiliki kebun seluas 5 hektare yang dibuka sejak tahun 2015, tanpa mengetahui bahwa lahannya termasuk dalam kawasan hutan.
Dengan rumus:
L = 5 hektare
J = 2025 - 2015 - 5 = 5 tahun
TD = Rp 25.000.000
Maka denda yang harus dibayar mencapai Rp 625.000.000 (Rp 625 juta).
Sejumlah petani mengaku khawatir tak mampu memenuhi kewajiban tersebut. Wakil Ketua DPW APAKSINDO Sumsel M Yunus menjelaskan, dengan diterapkannya PP 45/2025, para petani justru dihadapkan pada ancaman denda yang dinilai tidak realistis.
“Tidak akan ada petani yang sanggup membayar denda Rp25 juta per hektare per tahun. Pendapatan mereka tidak sampai segitu. Kalau dipaksakan, ini namanya kebijakan yang zalim,” tegas Yunus.
Tags:
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *