KONSULTASI
Logo

Penertiban Lahan Sawit Terus Berpolemik Hingga Dasar Penunjukan Hutan Dinyatakan Cacat Hukum

28 November 2025
AuthorHendrik Khoirul
EditorDwi Fatimah
Penertiban Lahan Sawit Terus Berpolemik Hingga Dasar Penunjukan Hutan Dinyatakan Cacat Hukum
HOT NEWS

sawitsetara.co – JAKARTA – Pemerintah memasuki babak baru dalam penertiban kawasan hutan melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 tahun 2025. Upaya ini bertujuan untuk mempertegas kendali negara atas lahan yang selama ini dikuasai tanpa izin, termasuk aktivitas perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan.

Namun, niat baik ini memunculkan pertanyaan krusial: Seberapa adilkah penertiban ini tanpa melanggar prinsip hukum kehutanan?

Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 5 Tahun 2025 menandai langkah signifikan dalam menertibkan tata kelola lahan di sektor kehutanan, pertambangan, dan perkebunan. Namun, sejumlah pakar hukum justru menyoroti potensi masalah serius, terutama bagi keberlanjutan industri sawit nasional.

Menurut Prof. Dr. Ermanto Fahamsyah, S.H., M.H., Perpres ini respons terhadap belum optimalnya pelaksanaan Pasal 110A dan 110B UUNomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, serta PP Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Kehutanan.

“Dengan diundangkannya Perpres ini pada 21 Januari 2025, pemerintah berupaya memperkuat landasan operasional untuk menertibkan kawasan hutan sekaligus mempercepat penyelesaian masalah tata kelola lahan, pertambangan, dan perkebunan yang berisiko mengurangi penguasaan negara atas sumber daya,” ujar Guru Besar Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Jember ini.

Untuk mengawal kebijakan ini, pemerintah membentuk Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan atau Satgas PKH, yang melibatkan unsur pengarah, pelaksana, dan sekretariat ex-officio di lingkungan Kejaksaan Agung. Satgas juga diberi wewenang membentuk kelompok ahli dari berbagai kalangan. Menariknya, tata kerja internal Satgas akan diatur lebih lanjut oleh Jaksa Agung.

Satgas wajib melaporkan kinerja kepada Presiden Prabowo Subianto setiap enam bulan, dengan pendanaan dari APBN dan sumber sah lainnya. Namun, tindakan penyitaan dan penyegelan kebun sawit tanpa izin oleh Satgas menuai kritik karena berpotensi melanggar prosedur pengukuhan kawasan hutan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

natal dpp

Prof. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, M.Sc., Guru Besar dari Institut Pertanian Bogor (IPB), juga mengkritik keras upaya pemerintah dalam menertibkan tata kelola kawasan hutan dan menindak kebun atau lahan kelapa sawit ilegal. Ia berpendapat bahwa fokus utama seharusnya adalah pembenahan kawasan hutan itu sendiri, bukan malah menertibkan pihak lain.

“Menurut saya, Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) judulnya sudah benar. Tetapi, sayangnya dalam pelaksanaannya yang ditertibkan malah lahan lain yang terindikasi masuk dengan menganggap bahwa kawasan hutan itu sudah benar. Justru ini yang salah, di Indonesia itu tata batas kawasan hutannya belum benar,” tegas Prof. Sudarsono dalam siniar di YouTube Majalah Sawit Indonesia pada Rabu (8/10/2025).

Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap polemik yang timbul setelah pemerintah menerbitkan PP 45 tahun 2025 yang mengubah PP No.24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan PNBP. Regulasi ini, yang diteken pada September lalu, diharapkan menjadi solusi bagi jutaan hektare perkebunan sawit yang terlanjur berada di kawasan hutan tanpa izin.

Namun, salah satu poin yang menjadi sorotan adalah besaran denda Rp25 juta per hektare per tahun yang dianggap memberatkan. Meskipun pemerintah bertujuan baik, Prof. Sudarsono mengungkapkan bahwa di lapangan, petani justru merasa tidak nyaman dan ketakutan. Ia mengaku menerima banyak keluhan dari petani sawit yang terkena dampak penertiban Satgas PKH.

“Meskipun pemerintah berjanji melindungi petani, kenyataannya masih banyak petani yang terkena dampak penertiban tersebut,” katanya.

Prof. Sudarsono menyoroti masalah utama yang terletak pada belum jelasnya tata batas kawasan hutan. Banyak lahan yang sudah digarap masyarakat sejak sebelum kemerdekaan, bahkan ada yang memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM), tiba-tiba masuk dalam kawasan hutan berdasarkan penetapan tata batas. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan masyarakat.

natal dpp

Prof. Sudarsono menekankan pentingnya menghormati hak-hak masyarakat. Jika tata batas tidak jelas dan hak-hak masyarakat tidak diakui, maka kawasan hutan itu sendiri yang seharusnya dianggap tidak memiliki kekuatan hukum. “Petani dianggap sebagai pelanggar kawasan hutan, padahal harusnya kawasan hutannya dulu yang dibenerin,” pungkas Prof. Sudarsono.

Beberapa waktu lalu, Satgas PKH menjadi sorotan tajam terkait langkah mereka dalam mengembalikan jutaan hektar lahan ke negara. Pusat Studi dan Advokasi Hukum Sumber Daya Alam (Pustaka Alam) mengungkap adanya dugaan ratusan ribu hektar kebun sawit milik rakyat yang ikut “terseret” dalam operasi penguasaan kembali lahan yang dilaporkan kepada Presiden.

“Selama ini Satgas PKH mengklaim seluruh lahan yang diambil alih adalah milik perusahaan besar. Namun hasil kajian kami menunjukkan fakta berbeda,” kata Direktur Pustaka Alam, Muhamad Zainal Arifin. Ia menegaskan, “Sekitar 614.235 hektar kebun sawit yang dikuasai kembali justru milik petani rakyat, bukan perusahaan.”

Berdasarkan data resmi Satgas PKH per 1 Oktober 2025, total 3,4 juta hektar kawasan hutan telah dikuasai kembali. Dari jumlah tersebut, 1,5 juta hektar diserahkan kepada PT Agrinas Palma Nusantara, entitas milik negara yang mengelola lahan hasil penertiban. Namun, analisis Pustaka Alam terhadap dokumen resmi seperti SK DATIN dan rekap penyerahan lahan menemukan bahwa ratusan ribu hektar lahan rakyat ikut masuk dalam daftar objek penertiban.

Zainal mengatakan, Satgas menggunakan izin lokasi perusahaan sebagai dasar klaim penguasaan kembali, padahal di lapangan, lahan tersebut sudah lama digarap petani secara mandiri bahkan sebelum izin itu terbit. Kajian Pustaka Alam menemukan sejumlah kasus konkret di beberapa provinsi, seperti di Kalimantan Tengah dan Riau, di mana lahan masyarakat turut diambil alih.

“Kondisi ini sangat berbahaya. Konflik horizontal bisa meledak kapan saja karena petani pasti berupaya mempertahankan kebun mereka, sementara pihak Agrinas Palma dan mitra kerja sama operasi (KSO) justru mulai memanen hasil di atas lahan tersebut,” ujar Zainal.

Ia menambahkan bahwa aktivitas panen oleh mitra KSO sering dikawal aparat keamanan, menciptakan ketimpangan kekuasaan di lapangan. “Petani sawit yang memperjuangkan haknya justru diperlakukan sebagai penggarap ilegal di tanah mereka sendiri,” kata dia.

Pustaka Alam juga menyoroti potensi denda administratif yang fantastis yang bisa menjerat petani akibat penerapan PP Nomor 45 Tahun 2025. Jika 614 ribu hektar kebun rakyat dianggap sebagai kegiatan tanpa izin selama 20 tahun dan dikenai denda Rp 375 juta per hektar, maka totalnya bisa mencapai Rp 230,34 triliun.

Baru-baru ini Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan bahwa dasar hukum penetapan kawasan hutan tidak lagi dapat berlandaskan pada Surat Keputusan (SK) Penunjukan. Hal ini merupakan respons terhadap ralat (renvoi) Mahkamah Konstitusi terhadap Putusan MK No. 147/PUU-XXII/2024.

Renvoi Putusan MK dan putusan MKMK menyebabkan dasar penguasaan kembali yang digunakan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), yaitu SK penunjukan kawasan hutan, dianggap tidak memiliki akibat hukum. Dengan demikian, menurut Zainal, penyitaan 3,4 juta hektare yang hanya didasarkan penunjukan kawasan hutan cacat hukum karena objeknya belum dibuktikan sebagai kawasan hutan yang sah.

Pemerintah diwajibkan melakukan koreksi total terhadap penyitaan lahan. Pertama, seluruh Berita Acara penguasaan kembali yang hanya berdasarkan penunjukan kawasan hutan harus ditinjau ulang. Kedua, hak-hak petani dan perusahaan yang memiliki hak atas tanah di areal yang belum ditetapkan sebagai kawasan hutan harus dipulihkan.


natal dpp

Zainal Arifin, Direktur Pusat Studi dan Advokasi Hukum Sumber Daya Alam (Pustaka Alam), menekankan pentingnya negara tidak lagi menggunakan penunjukan administratif sebagai dasar klaim kawasan hutan. Penertiban mestinya dilakukan setelah areal ditata sebagai kawasan hutan.

“Jika negara ingin melakukan penertiban ataupun penguasaan kembali kawasan hutan, maka harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa areal tersebut telah ditata batas dan ditetapkan sebagai kawasan hutan. Itu merupakan bentuk penegakan rule of law,” katanya.

Zainal menjelaskan ada empat tahapan utama pengukuhan kawasan hutan berdasarkan Pasal 15 UU Kehutanan: penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan. Menurutnya hanya pada tahap penetapan itulah sebuah kawasan bisa dianggap sebagai kawasan hutan secara hukum.

“Satgas PKH seharusnya bekerja hanya pada areal yang sudah melewati tahap penetapan kawasan hutan.”

Zainal khawatir dunia internasional mengawasi langkah Indonesia, terutama tindakan penertiban yang dianggap menyerupai nasionalisasi aset tanpa dasar hukum yang memadai. “Sinyal yang keluar ke dunia internasional sangat jelas bahwa iklim investasi sektor kelapa sawit di Indonesia sedang tidak baik-baik saja,” paparnya.

Zainal menekankan perlunya evaluasi total terhadap langkah Satgas PKH. Ia menegaskan, “Menghentikan praktik penyitaan berbasis peta penunjukan kawasan hutan, dan memastikan semua tindakan negara berbasis pada hukum, bukan kekuasaan.”

Sebagai informasi, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah menjatuhkan teguran lisan kepada sembilan Hakim Konstitusi atas kekeliruan dalam Putusan MK No. 147/PUU-XXII/2024. MKMK mencatat bahwa MK telah mengakui kesalahan ini melalui Berita Acara Renvoi yang diterbitkan 27 Oktober 2025.

Zainal mengapresiasi langkah tersebut, “Kami menghargai renvoi yang dilakukan oleh Hakim MK. Renvoi tersebut menunjukkan sikap kenegarawanan Hakim MK yang mengoreksi kesalahan dalam Putusannya. Kami melaporkan bukan untuk mempermalukan hakim MK, tetapi menjaga integritas MK sebagai penjaga konstitusi.”



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *