KONSULTASI
Logo

Petani Sawit Desak Pemerintah Akhiri Klaim Sepihak Kawasan Hutan, Warga Hidup dalam Ketakutan

29 November 2025
AuthorHendrik Khoirul
EditorDwi Fatimah
Petani Sawit Desak Pemerintah Akhiri Klaim Sepihak Kawasan Hutan, Warga Hidup dalam Ketakutan
HOT NEWS

sawitsetara.co – JAKARTA – Organisasi petani sawit dari berbagai daerah menyuarakan keresahan terkait klaim sepihak kawasan hutan oleh pemerintah. Mereka mendesak pemerintah untuk segera menghentikan klaim yang dinilai merugikan dan membuat lahan turun-temurun rakyat terancam hilang.

Kondisi ini menyebabkan warga hidup dalam ketakutan berkepanjangan. Keresahan ini semakin memuncak, seperti yang terlihat dalam Forum Group Discussion (FGD) yang membahas konflik agraria. Peserta dari berbagai daerah, mulai dari Sumatera Utara hingga Sulawesi, menegaskan perlunya tindakan tegas dari pemerintah.

Abdul Aziz, Wakil Ketua Umum SAMADE sekaligus Juru Bicara Warga Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), menyoroti bagaimana banyak lahan sawit milik masyarakat tiba-tiba diklaim masuk kawasan hutan. Lahan-lahan ini, menurutnya, telah dikelola sejak puluhan tahun lalu, bahkan sejak era 1970-an hingga 1990-an.

natal dpp

“Ini trauma kolektif bagi warga. Tanah yang sudah lama digarap tiba-tiba berubah status hanya karena klaim di atas peta,” ujarnya, dikutip elaeis.co.

FGD juga menyoroti akar masalah dari konflik ini, yaitu tumpang tindih aturan, lemahnya proses pengukuhan kawasan hutan, dan keluarnya Perpres 5/2025 yang dianggap merugikan masyarakat. Abdul menjelaskan bahwa proses pengukuhan seharusnya melalui tahapan yang jelas sesuai UU 41/1999, namun seringkali tahapan ini tidak ada di lapangan.

“Kementerian bilang itu kawasan hutan, selesai. Tapi data lapangannya mana? Ini yang tidak bisa mereka tunjukkan,” tegas Abdul.

Situasi diperparah dengan adanya keterlibatan aparat bersenjata dalam operasi lapangan, yang membuat warga merasa terintimidasi dan trauma. Di TN Tesso Nilo, misalnya, Satgas melibatkan unsur militer, yang membuat warga kaget dan takut. Abdul Aziz menegaskan bahwa masalah ini adalah persoalan sipil, bukan darurat negara.

natal dpp

Warga hanya menginginkan ruang dialog dan klarifikasi, terutama terkait lahan yang telah mereka kelola sebelum penetapan taman nasional. Abdul Aziz menekankan bahwa lahan yang sudah lama digarap seharusnya bisa dienklave, bukan langsung dipaksa keluar.

Sejak 10 Juni 2025, Satgas memerintahkan warga melakukan “relokasi mandiri”. Abdul Aziz mengkritik langkah ini karena arahan pemindahan tidak jelas, menimbulkan tekanan psikologis dan memperpanjang trauma warga. Ia menambahkan, aksi warga menurunkan papan larangan sempat diframing anarkis, padahal itu adalah bentuk protes damai.

FGD ini juga menjadi ajang edukasi dengan menghadirkan akademisi dan pakar hukum. Tujuannya adalah menyusun rekomendasi resmi kepada Pansus Konflik Agraria DPR RI agar kebijakan lebih adil dan transparan. Abdul menekankan bahwa suara warga mewakili jutaan masyarakat terdampak.

“Kalau aturan terus dilanggar demi kepentingan segelintir oknum, warga yang rugi. Kami cinta negara ini, tapi keadilan harus ditegakkan,” ujar Abdul Aziz.

Para peserta berharap pemerintah dan DPR membuka ruang dialog, bukan pendekatan represif, sehingga konflik agraria dapat diselesaikan secara manusiawi dan sesuai aturan. Tujuannya adalah agar kebijakan pengelolaan kawasan hutan mencerminkan keadilan sosial bagi petani sawit dan warga terdampak.



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *