Sawitsetara.co – JAKARTA – Pemerintah terus menuai kritik tajam terkait regulasi sektor kehutanan. Kali ini, Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2025, yang merupakan revisi dari PP No. 24 Tahun 2021, menjadi sorotan utama.
Regulasi ini, yang mengatur sanksi administratif dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dinilai tidak hanya menciptakan ketidakpastian hukum, tetapi juga berpotensi mengancam keberlanjutan ekonomi masyarakat di daerah penghasil sawit.
Salah satu poin krusial yang menjadi sasaran kritik adalah besaran denda yang mencapai Rp25 juta per hektare per tahun. Para pelaku usaha perkebunan ini menilai skema denda tersebut tidak realistis dan akan menekan industri sawit.
Kekhawatiran ini muncul di tengah upaya pemerintah untuk membangun citra positif terhadap industri sawit. Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan indikasi gangguan ekonomi.
Data Kementerian Dalam Negeri bahkan mengungkap penurunan daya beli masyarakat di beberapa provinsi penghasil sawit. Menurut laporan Sekretaris Jenderal Kemendagri, Tomsi Tohir, inflasi telah menyentuh angka 5 persen. Inflasi ini terjadi di provinsi seperti Sumatera Utara, Riau, Aceh, dan Sumatera Barat.
“Inflasi di atas 5 persen merupakan sinyal serius bagi pemerintah daerah dan pusat untuk segera melakukan langkah antisipatif,” katanya dalam rapat pengendalian inflasi daerah di Jakarta (6/10/2025), dikutip Sawit Indonesia.
Sementara itu, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Dr. Ir. Gulat Medali Emas Manurung, M. P. , C. IMA, mengaitkan inflasi tersebut dengan gejolak kebijakan sawit dalam sepuluh bulan terakhir. Ia menyebutkan beberapa regulasi yang turut berkontribusi, termasuk SK Menhut No. 36/2025, Perpres No. 5/2025, dan PP No. 45/2025.
“Ketiga regulasi itu menciptakan efek kejut yang nyata bagi perekonomian daerah sawit. Berbeda dengan sektor tambang yang dikuasai korporasi besar, industri sawit justru melibatkan rakyat secara langsung,” tegasnya.
Gulat juga mengingatkan bahwa sekitar 42% dari total lahan sawit nasional dikelola oleh petani rakyat. Ia menekankan dampak langsung dan berlapis dari kebijakan ini, mulai dari daya beli hingga stabilitas ekonomi lokal. Gulat menambahkan bahwa pihaknya telah berkomunikasi dengan berbagai pihak terkait untuk mencari solusi terbaik. Ia optimis Presiden Prabowo Subianto akan memberikan solusi afirmatif.
“Kami yakin arahan Presiden tetap berpihak pada kesejahteraan petani sawit. Asta Cita Presiden jelas menempatkan petani sebagai pilar penting ekonomi nasional, sekaligus saya meminta petani sawit yang tersebar dari Aceh sampai Papua jangan reaktif dulu atau aksi lainnya,” katanya.
Kritik serupa juga datang dari akademisi. Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, M. Sc, Guru Besar IPB University, menilai PP 45/2025 justru menyimpang dari semangat Undang-Undang Cipta Kerja. Ia menyoroti perubahan pendekatan dari “ultimum remedium” menjadi “punitive regulation”.
“Istilah seperti ‘penguasaan kembali’, ‘paksaan pemerintah’, ‘pemblokiran rekening’, hingga ‘pencegahan ke luar negeri’ menimbulkan ketakutan di kalangan pelaku usaha,” ungkapnya.
Prof. Budi juga mengkritik besaran denda yang ditetapkan tanpa dasar kajian ilmiah yang jelas. Menurut dia, kalau denda tidak bisa dibayar oleh siapapun, apalagi petani kecil, maka kebijakan ini kehilangan maknanya.
“Bayangkan, kebun sawit berumur 15 tahun bisa terkena denda Rp250 juta per hektare. Ini bukan solusi, tapi beban yang tak mungkin disanggupi,” tegasnya.
Tags:
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *