KONSULTASI
Logo

Praktik Baik Perkebunan Sawit Indonesia Semakin Kuat

24 September 2025
AuthorTim Redaksi
EditorEditor
Praktik Baik Perkebunan Sawit Indonesia Semakin Kuat

sawitsetara.co – JAKARTA – Seekor burung hantu terbang rendah melintasi kawasan kebun kelapa sawit di Sumatera Utara pada senja hari. Dengan mata tajam, ia memburu tikus-tikus yang kerap merusak tanaman.

Pemandangan ini bukan sekadar cerita folklor, melainkan kenyataan di perkebunan yang menerapkan pengendalian hama alami.

Di mana setiap 25 hektare lahan kini dilengkapi rumah bagi Tyto alba si burung hantu, predator alami yang mampu memangsa tiga hingga lima ekor tikus per hari.

Inisiatif sederhana nan cerdas ini adalah salah satu praktik perkebunan berkelanjutan di Indonesia yang menjaga ekosistem tanpa mengorbankan produktivitas.

Dari Sumatera hingga Kalimantan dan berbagai penjuru Nusantara tengah menggeliat dengan praktik perkebunan sawit yang baik demi konservasi lingkungan dan keberlanjutan pertanian.

Inisiatif-inisiatif ini tidak hanya berdampak positif bagi ekosistem, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan, mendukung masyarakat lokal, dan meningkatkan citra Indonesia di mata dunia.

Sebagai penghasil minyak nabati terbesar dunia, kelapa sawit Indonesia acap mendapat sorotan tajam terkait deforestasi dan isu lingkungan.


Default Ad Banner

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pelaku industri dan pemerintah Indonesia melakukan transformasi signifikan menuju perkebunan sawit lestari.

Contohnya, beberapa perusahaan swasta menerapkan kebijakan tanpa bakar dan tanpa deforestasi secara ketat.

Saat ini, sebagian besar perusahaan melarang pembukaan lahan dengan api dan giat menggandeng masyarakat sekitar untuk mencegah kebakaran hutan.

Mereka memberikan edukasi tentang bahaya membakar lahan dan dilatih membuka lahan dengan teknik aman.

Pendekatan partisipatif ini efektif menekan insiden kebakaran lahan dan kabut asap, sekaligus memberdayakan masyarakat lokal sebagai garda terdepan perlindungan lingkungan.

Dari aspek pertanian berkelanjutan, banyak perusahaan sawit menerapkan Good Agricultural Practices dengan sentuhan inovasi.

Pengendalian hama secara hayati telah menjadi standar baru.

Seperti hama tikus dikendalikan dengan burung hantu, sementara hama ulat api ditekan dengan serangga predator Sycanus yang dilestarikan melalui penanaman bunga refugia.


Default Ad Banner

Langkah ini mengurangi ketergantungan pada pestisida kimia, menjaga keseimbangan biodiversitas kebun, dan tentu menghemat biaya jangka panjang.

Tak kalah penting, pendekatan nol limbah dan energi terbarukan mulai marak di sektor sawit.

Limbah padat seperti tandan kosong dan cangkang sawit dikembalikan ke kebun sebagai mulsa atau dibakar terkontrol sebagai bahan bakar biomassa di pabrik.

Limbah cair POME (Palm Oil Mill Effluent) yang dulunya mencemari sungai, kini diolah dalam instalasi biogas.

Hasilnya, emisi gas rumah kaca dari operasional pabrik berkurang signifikan, sekaligus memasok listrik hijau bagi jaringan setempat.

Inisiatif energi bersih ini selaras dengan upaya pemerintah mendorong 25 persen energi terbarukan dalam bauran listrik nasional.

Pemerintah Indonesia pun tak tinggal diam.

Standar Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) diterapkan pada perkebunan sawit untuk memastikan kepatuhan pada prinsip legalitas dan keberlanjutan.

Mulai dari konservasi lahan gambut hingga tanggung jawab sosial.

Program nasional Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) digulirkan untuk meningkatkan produktivitas kebun petani kecil yang pohonnya sudah tua.

Dengan dana pemerintah, petani diberi bantuan menanam bibit unggul berproduktivitas tinggi menggantikan tanaman lama.

Langkah intensifikasi ini diharapkan melipatgandakan hasil Tandan Buah Segar (TBS) per hektare, dari rata-rata 3-5 ton menjadi mendekati 8-10 ton, sesuai potensi bibit unggul sawit.

Dampaknya dua arah, pendapatan petani meningkat, dan kebutuhan lahan baru bisa ditekan karena peningkatan produksi dicapai di lahan yang sama.

Lebih menggembirakan lagi, ribuan petani swadaya sawit kini turut serta dalam gerakan keberlanjutan.

Lewat program kemitraan dan pendampingan, mereka diajak menerapkan praktik berkebun baik yang diakui global.

Sebagai contoh, Koperasi Petani Sawit Lepan Jaya di Langkat, Sumatra Utara, berhasil meraih sertifikat RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) pada 2024 setelah 250 anggotanya mengadopsi standar perkebunan lestari di lahan seluas 368 hektare.

Program pelatihan Sawit Terampil yang diinisiasi perusahaan mitra mendampingi petani mulai dari manajemen kebun, pengurangan pupuk kimia, pengelolaan limbah, hingga pemenuhan aspek legal seperti pendaftaran Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB).


Default Ad Banner

Hasilnya, para petani ini kini mampu menghasilkan minyak sawit berkelanjutan berstandar internasional.

Upaya transparansi rantai pasok juga diperkuat melalui teknologi. Kementerian Pertanian meluncurkan National Dashboard untuk melacak setiap tandan sawit dari kebun (melalui e-STDB bagi petani kecil dan Siperibun bagi perusahaan) hingga produk akhir.

Sistem ini memastikan setiap pelaku memenuhi standar dan dapat diaudit, sehingga praktik perkebunan lestari lebih akuntabel.

Langkah inovatif ini bahkan mendapat apresiasi Direktur Jenderal FAO, Qu Dongyu, yang pada 2024 langsung meninjau perkebunan sawit berkelanjutan di Riau.

Beliau memuji kemajuan Indonesia dalam tata kelola sawit yang kian ramah lingkungan dan menyerahkan Agricola Medal sebagai pengakuan atas komitmen Indonesia menjaga keberlanjutan sektor ini.

Pengakuan dunia ini menandakan perubahan positif bahwa industri sawit Indonesia mulai diidentikkan dengan solusi, bukan semata masalah.

Ekosistem Terpulihkan, Martabat Terjaga

Rangkaian praktik baik di sektor perkebunan Indonesia di atas telah membawa dampak positif berlipat.

Dari sisi ekologis, pendekatan berkelanjutan terbukti memulihkan layanan ekosistem yang vital.

Pengurangan pestisida kimia dan pola tanam beragam meningkatkan kesehatan tanah dan mikroorganisme, menjadikan lahan pertanian lebih subur secara alami.

Dengan kata lain, praktik perkebunan ramah lingkungan turut memperkuat ketahanan pangan nasional secara tidak langsung.


Karena ekosistem yang sehat menyediakan air dan tanah subur bagi produksi pangan lokal.

Dari sisi ekonomi dan sosial, keberlanjutan justru memperkuat ketahanan pertanian dan kesejahteraan petani.

Produktivitas komoditas meningkat jangka panjang karena tanah dan tanaman lebih sehat.

Bagi petani kecil, peningkatan kapasitas melalui pelatihan menjadikan mereka lebih profesional dan mandiri.

Contohnya, petani sawit swadaya anggota KUD di Riau yang telah tersertifikasi kini mampu menghasilkan TBS (Tandan Buah Segar) 18 ton/ha, jauh di atas rata-rata nasional.

Pendapatan petani pun naik, berujung pada perbaikan taraf hidup di pedesaan.

Selain itu, banyak inisiatif melibatkan masyarakat lokal sebagai pengelola langsung program lingkungan.

Ketika petani diberdayakan menjaga hutan (seperti di Kerinci) atau mencegah kebakaran.

Mereka memperoleh insentif ekonomi dan rasa kepemilikan atas keberhasilan lingkungan.

Dampak yang tak kalah penting adalah meningkatnya citra Indonesia di mata dunia.

Langkah-langkah konkret Indonesia dalam memadukan produksi perkebunan dengan konservasi lingkungan mulai diakui berbagai pihak.

Selain apresiasi FAO terhadap kemajuan sawit berkelanjutan, Indonesia juga terlibat aktif dalam forum-forum internasional mengenai komoditas lestari.

Inisiatif seperti Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) digagas Indonesia untuk mempromosikan minyak sawit yang memenuhi standar keberlanjutan global, melawan stigma negatif dengan data dan fakta.

Penulis: Kuntoro Boga Andri, Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian.




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *