
sawitsetara.co – JAKARTA – Praktik under invoicing dalam ekspor minyak kelapa sawit kembali menjadi sorotan serius DPR RI. Anggota Komisi XI DPR RI, Puteri Komarudin, menilai lemahnya pengawasan lintas sektor membuka ruang terjadinya manipulasi nilai ekspor yang berpotensi merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah.
Dalam rapat kerja Komisi XI DPR RI bersama Kementerian Keuangan, Puteri mengungkapkan bahwa sebanyak 282 Wajib Pajak (WP) yang bergerak di sektor ekspor sawit terindikasi melakukan praktik under invoicing. Dari jumlah tersebut, 25 eksportir diketahui secara aktif menggunakan modus tersebut, dengan estimasi kerugian negara mencapai Rp140 miliar.
“Langkah tegas Kementerian Keuangan tentu kita dukung. Namun yang juga penting adalah bagaimana tindak lanjut terhadap Wajib Pajak yang terindikasi under invoicing ini. Jangan sampai penindakan hanya berhenti di temuan, tanpa efek jera,” ujar Puteri, dikutip dari laman DPR RI, Senin (15/12/2025).

Celah Pengawasan dan Modus Penyelundupan
Selain manipulasi nilai ekspor, Puteri juga menyoroti modus penyelundupan antar pulau, di mana kapal pengangkut sawit dilaporkan berbelok ke luar negeri untuk menghindari kewajiban bea keluar. Menurutnya, praktik ini menunjukkan masih lemahnya pengawasan fisik dan sistem pemantauan kapal ekspor.
Pemerintah sendiri telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2024, yang mewajibkan kapal pengangkut barang ekspor menyalakan Automatic Identification System (AIS) serta menggunakan dokumen elektronik untuk meningkatkan transparansi dan kecepatan pengawasan.
“Regulasinya sudah ada. Sekarang yang perlu dikawal adalah efektivitas pelaksanaannya di lapangan. Apakah AIS benar-benar dipantau secara real time, dan apakah data dokumen elektronik sudah terintegrasi antarlembaga,” kata Puteri.
Perspektif Akademisi dan Peneliti
Praktik under invoicing dalam perdagangan komoditas primer bukanlah fenomena baru. Penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of International Economics menyebutkan bahwa negara-negara eksportir komoditas mentah rentan mengalami trade misinvoicing akibat lemahnya integrasi data kepabeanan dan perpajakan.
Di Indonesia, peneliti Pusat Studi Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri (alm.) dalam sejumlah kajiannya pernah menekankan bahwa sektor sumber daya alam, termasuk sawit, memiliki risiko tinggi kebocoran penerimaan negara jika pengawasan ekspor tidak dilakukan secara terpadu.

Langkah Kemenkeu dan Integrasi Sistem
Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan RI Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan bahwa Kementerian Keuangan tengah memperkuat sistem teknologi informasi, khususnya di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Salah satu fokusnya adalah optimalisasi Lembaga National Single Window (LNSW) agar integrasi data benar-benar berjalan efektif.
“Kita sudah punya berbagai sistem, tetapi belum sepenuhnya terintegrasi. Karena itu, saya membentuk tim khusus di LNSW untuk memastikan integrasi ini berjalan dan dilaporkan secara berkala,” ujar Purbaya.
Ke depan, Bea Cukai juga akan melakukan pemantauan rutin kapal pengangkut sawit menggunakan AIS, sekaligus memastikan seluruh dokumen elektronik tersinkronisasi, sehingga proses ekspor dapat diawasi secara transparan dan akuntabel.
Dorongan Penindakan Tegas
Puteri Komarudin menegaskan, tanpa penindakan tegas dan terbuka kepada eksportir yang terbukti melakukan under invoicing, upaya perbaikan sistem hanya akan bersifat administratif.
“Penguatan sistem harus dibarengi dengan penegakan hukum yang konsisten. Ini penting agar sektor sawit, sebagai komoditas andalan ekspor nasional, benar-benar memberikan kontribusi optimal bagi penerimaan negara,” pungkasnya.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *