Sawitsetara.co – PADANG – Sebagai komoditas yang menjanjikan, kelapa sawit telah menjadi primadona untuk mendongkrak perekonomian rakyat. Namun, cerita sukses tak selalu menghiasi. Cuaca buruk, disiplin panen yang kurang, serangan hama penyakit, dan kesalahan pascapanen, menjadi momok yang mengancam hasil panen.
Tak jarang, buah yang dihasilkan tak memenuhi standar pabrik, membuat petani merugi karena harga jual yang dipatok rendah. Belum lagi, ulah tengkulak yang kerap mempermainkan harga, memanfaatkan situasi harga sawit yang sedang anjlok atau kualitas buah yang dianggap belum memenuhi syarat.
Dr. Eng. Muhammad Makky, Direktur Kerjasama dan Hilirisasi Riset Universitas Andalas (UNAND), Sumatera Barat, menciptakan sebuah inovasi berpotensi mengubah nasib petani kelapa sawit di Indonesia. Inovasi ini sejalan dengan visi pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam di dalam negeri, khususnya dalam industri kelapa sawit.
Berangkat dari rasa keprihatinan mendalam terhadap permasalahan yang seringkali dihadapi petani sawit, peneliti yang masuk dalam daftar 100 ilmuwan terbaik Indonesia versi AD Scientific Index 2025 ini mengembangkan alat untuk mengukur dan mendeteksi tingkat kematangan buah kelapa sawit langsung di pohon.
“Sensor pendeteksi kematangan buah sawit ini saya ciptakan berangkat dari kegelisahan atas konflik antara petani, pengepul dan pabrik kelapa sawit,” ujar Makky, seperti dikutip Antara, Senin (13/10/2025).
Penelitian Makky menemukan bahwa tengkulak seringkali menekan harga sawit petani dengan alasan kualitas buah yang buruk. Petani seringkali dirugikan akibat harga jual yang tidak adil. Mereka, yang kurang pengetahuan, akhirnya menyerahkan sepenuhnya kepada pengepul. Sementara itu, pabrik memiliki parameter kualitas yang ketat.
Permasalahan lain adalah biaya pemurnian minyak sawit sebelum diekspor, yang melibatkan proses Deterioration of Bleachability Index (DOBI). Kualitas minyak yang rendah menyebabkan biaya pemurnian yang tinggi, yang akhirnya juga dibebankan kepada petani. Makky menemukan adanya selisih harga yang tidak wajar, berkisar antara Rp500 hingga Rp1.000 per kilogram.
“Waktu itu di tahun 2002, harga sawit sangat sedih sekali yakni sampai Rp300 rupiah. Padahal, sawit yang dibeli dengan harga murah tadi kembali dijual pengepul dengan harga Rp1.200 hingga Rp1.300 per kilogram,” jelasnya.
Inovasi Fotogrametri: Solusi Cerdas untuk Industri Kelapa Sawit
Setelah melalui riset yang mendalam, Makky, akhirnya berhasil mengembangkan solusi inovatif menggunakan metode fotogrametri, yang memungkinkan penilaian kualitas buah sawit sebelum panen. Metode ini menggunakan sensor kamera untuk menganalisis komposisi warna. Alat ini dikembangkan untuk mengukur kualitas buah sawit yang masih di pohon.
“Alat ini juga dirancang agar bisa meminimalisir back lighting saat pengambilan data kematangan buah sawit melalui metode filtering,” ujar Makky.
Alat ini dilengkapi dengan kecerdasan buatan berupa jaringan saraf tiruan untuk meningkatkan akurasi. Selain mengukur kematangan buah, alat ini juga mampu membaca kualitas rendemen, kandungan asam lemak bebas, dan dilengkapi dengan geotagging. Alat ini membantu petani dan pabrik kelapa sawit menghitung produksi bulanan, tahunan, serta estimasi penggunaan pupuk.
“Jadi, supaya jumlah data yang dibutuhkan alat ini bisa dipakai dengan benar dan tidak terlalu banyak serta menghemat biaya kita menggunakan kecerdasan buatan yang dilengkapi dengan TensorFlow,” kata dia.
Dengan tingkat akurasi 90%, UNAND telah memproduksi lebih dari 100 unit sensor. Inovasi ini telah digunakan di beberapa perusahaan besar di berbagai provinsi. UNAND juga sedang menjajaki kerja sama dengan investor dari Swiss dan Singapura. Inovasi ini diharapkan dapat mendorong hilirisasi kelapa sawit di Indonesia.
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *