
sawitsetara.co – BOGOR – Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, M.S., MPPA menilai arah kebijakan pembangunan berkelanjutan di Indonesia menghadapi persoalan struktural yang mendasar. Menurutnya, wacana keberlanjutan yang terus digaungkan pemerintah kerap tidak sejalan dengan kondisi tata ruang nasional yang timpang dan berisiko memicu konflik sosial serta ekologis.
Dalam pandangannya, Indonesia saat ini berada dalam situasi ketidakseimbangan serius dalam pengelolaan ruang daratan. Ia mengungkapkan bahwa sekitar dua pertiga daratan Indonesia dialokasikan sebagai kawasan kehutanan, sementara sepertiga sisanya harus menampung seluruh kebutuhan hidup masyarakat, mulai dari permukiman, pangan, infrastruktur, hingga kegiatan ekonomi.
“Dua pertiga daratan kita diparkir sebagai kawasan kehutanan, sementara sepertiga sisanya diperebutkan oleh semua kebutuhan hidup. Di atas ruang yang sempit itulah ratusan juta manusia diminta hidup dan menggantungkan masa depan,” ujar Prof. Sudarsono dalam keterangan tertulis, Sabtu (20/12/2025).
Ia menyoroti ironi kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional yang dinilainya tidak sebanding dengan besarnya alokasi ruang. Berdasarkan perhitungan ekonomi, sektor kehutanan menyumbang kurang dari satu persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), meskipun menguasai porsi terbesar ruang daratan Indonesia.
“Artinya, dua pertiga ruang hidup kita dialokasikan untuk sektor yang secara ekonomi nyaris tidak menggerakkan mesin nasional,” katanya.
Prof. Sudarsono mengibaratkan kondisi tersebut seperti sebuah kapal yang berlayar dalam keadaan miring. Menurutnya, ketidakseimbangan distribusi ruang membuat sistem pembangunan nasional menjadi rapuh dan mudah terguncang oleh tekanan eksternal, seperti perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, hingga krisis pangan.
“Bayangkan kapal kargo yang dua pertiga ruangnya diisi muatan yang hampir tidak bernilai, sementara sepertiga sisanya dijejali penumpang, logistik, dan harapan. Kapal seperti itu pasti miring dan tidak stabil,” tegasnya.
Ia menilai, dalam kondisi struktur ruang yang tidak seimbang, berbagai persoalan yang muncul—mulai dari banjir besar, konflik agraria, hingga deforestasi ilegal—bukanlah kejadian yang berdiri sendiri, melainkan gejala dari sistem yang kehilangan keseimbangan dasarnya.
“Sedikit guncangan saja bisa menjadi petaka. Hujan ekstrem berubah menjadi banjir, tekanan demografis menjadi konflik lahan, dan kebutuhan pangan berubah menjadi deforestasi ilegal,” ujarnya.
Lebih jauh, Prof. Sudarsono mengkritik kecenderungan negara yang terus mengulang narasi keberlanjutan tanpa menyentuh akar persoalan. Menurutnya, keberlanjutan tidak dapat dibangun di atas struktur spasial yang secara inheren tidak berkelanjutan.
“Kita sibuk berbicara tentang emisi dan ekonomi hijau, tetapi menutup mata terhadap fakta bahwa fondasi spasial kita sendiri sudah tidak seimbang,” katanya.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa kritik tersebut bukan ajakan untuk mengorbankan hutan. Sebaliknya, perlindungan hutan justru akan lebih efektif jika manusia yang hidup di sekitarnya memiliki ruang hidup yang layak dan tidak ditekan oleh keterbatasan struktural.
“Hutan hanya bisa dijaga secara berkelanjutan jika manusia di sekitarnya juga hidup secara layak. Kapal yang seimbang justru memberi peluang lebih besar untuk melindungi muatan berharga, termasuk hutan itu sendiri,” jelasnya.
Prof. Sudarsono menutup pandangannya dengan menegaskan bahwa keberlanjutan sejati bukan sekadar slogan atau dokumen kebijakan, melainkan keberanian untuk menata ulang distribusi beban dan ruang secara adil.
“Keberlanjutan bukan soal jargon. Selama kita menolak mengakui bahwa kapal ini sudah miring, pembicaraan tentang masa depan hijau hanya akan menjadi mimpi,” pungkasnya.


Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *