
sawitsetara.co – JAKARTA – Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) mulai bergerak menagih denda administratif senilai Rp38,6 triliun kepada 71 perusahaan yang bergerak di sektor kelapa sawit dan pertambangan yang dinilai beroperasi tanpa izin di dalam kawasan hutan.
Langkah penegakan hukum ini menuai sorotan serius dari Pusat Studi dan Advokasi Hukum Sumber Daya Alam (PUSTAKA ALAM). Mereka mengingatkan bahwa penerapan Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2025 tersebut berpotensi memicu kebangkrutan masif di industri sawit serta gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berskala nasional.
Dalam kajian terbaru yang dirilis PUSTAKA ALAM, skema pengenaan denda administratif sebagaimana diatur dalam PP tersebut dinilai berisiko “mematikan” ratusan perusahaan perkebunan kelapa sawit di berbagai daerah.
Lebih jauh, kebijakan ini diperkirakan akan berdampak langsung pada jutaan pekerja sawit yang terancam kehilangan pekerjaan, seiring tekanan finansial berat yang harus ditanggung perusahaan akibat penerapan denda yang bersifat akumulatif dan berlaku surut.

Sorotan paling tajam diarahkan pada skema denda sebesar Rp25 juta per hektare per tahun yang dikenakan secara retroaktif. Menurut PUSTAKA ALAM, pendekatan ini tidak hanya membebani perusahaan secara tidak proporsional, tetapi juga mengabaikan realitas ekonomi industri perkebunan yang memiliki siklus investasi jangka panjang dan margin keuntungan yang fluktuatif.
“Penerapan denda ini membuat beban kewajiban mencapai Rp375 juta per hektare untuk kebun yang telah berumur 20 tahun. Angka ini sangat tidak masuk akal karena melampaui empat kali lipat harga pasar kebun sawit itu sendiri, yang rata-rata berkisar Rp 50 hingga 100 juta per hektare,” ungkap Direktur PUSTAKA ALAM, Muhamad Zainal Arifin, dalam keterangan resmi yang dikutip Rabu (17/12/2025).
Zainal menilai PP No. 45 Tahun 2025 mengandung cacat hukum mendasar yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum berkepanjangan. Regulasi tersebut disebut bertentangan dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, serta Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan beserta perubahan-perubahannya, yang menjadi landasan formal dalam penyusunan kebijakan publik.
Pertama, PP 45/2025 secara sepihak mengubah perhitungan dalam UU Cipta Kerja dari yang seharusnya berbasis keuntungan ekonomi menjadi tarif tetap sebesar Rp25 juta/ha/tahun.
Kedua, penerapan denda yang berlaku surut melanggar prinsip hukum dalam UU No. 12 Tahun 2011, sebagaimana ditegaskan dalam Putusan MA No. 41 P/HUM/2023 yang melarang perhitungan pajak atau denda administratif berlaku surut.
Ketiga, proses pembentukan PP ini tidak memenuhi asas meaningful participation karena tidak melibatkan pihak-pihak yang terdampak.

Berdasarkan hasil kajian PUSTAKA ALAM terhadap 429 perusahaan perkebunan sawit yang masuk dalam daftar penguasaan kembali Tahap III dan IV, dampak finansial dari kebijakan ini dinilai sangat destruktif. Analisis neraca keuangan menunjukkan bahwa lebih dari separuh perusahaan berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan akibat beban kewajiban yang melampaui kapasitas aset mereka.
Secara rinci, sebanyak 235 perusahaan atau sekitar 55 persen dari total sampel berada dalam kategori rawan bangkrut karena mengalami potensi insolvensi neraca. Kondisi ini mencerminkan ketidakseimbangan antara kewajiban denda yang ditetapkan negara dengan kemampuan finansial aktual perusahaan di lapangan.
Tekanan tersebut tidak hanya dialami perusahaan kecil, tetapi juga menjangkiti perusahaan menengah hingga grup besar. Sebagian besar entitas menghadapi potensi denda di atas Rp187,5 miliar per perusahaan, angka yang jauh melampaui nilai aset produktif mereka. Bahkan, sejumlah grup besar sawit disebut berpotensi kolaps akibat akumulasi denda yang terlalu besar.
Di sisi lain, hanya 194 perusahaan atau sekitar 45 persen yang diperkirakan masih mampu bertahan, umumnya karena luasan kebun yang dikenakan denda berada di bawah 500 hektare, sehingga nilai denda yang harus dibayarkan relatif lebih kecil dibandingkan kelompok perusahaan lainnya.
PUSTAKA ALAM juga menyoroti pelaksanaan Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2025 dan PP No. 45 Tahun 2025 yang dinilai tidak proporsional dalam menetapkan areal yang dikenakan denda. Penetapan luasan dilakukan secara agregat tanpa verifikasi faktual di lapangan, sehingga denda turut dibebankan pada areal yang sejatinya telah memiliki Hak Guna Usaha (HGU) yang sah.
“Termasuk lahan plasma dan lahan garapan masyarakat yang bukan merupakan aset perusahaan, serta area non-produktif seperti semak belukar dan rawa,” katanya.
Secara hukum, HGU tetap sah dan mengikat sepanjang hak tersebut belum dibatalkan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 dan Pasal 64 PP No. 18 Tahun 2021. Di dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Dengan demikian HGU tidak dapat dikenakan denda..
Lebih jauh, PUSTAKA ALAM memperkirakan dampak paling nyata dari kebijakan ini adalah ancaman kehilangan mata pencaharian bagi jutaan pekerja sawit di seluruh Indonesia. Selama ini, industri kelapa sawit diketahui menyerap sekitar 16,5 juta tenaga kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung, mulai dari sektor hulu hingga hilir.
“Dampak sosial dari penerapan denda ini berpotensi memicu PHK massal terhadap 1,5 juta hingga 3 juta pekerja, bergantung pada luas kebun yang terdampak. PHK tersebut menyasar tenaga pemanenan, pekerja perawatan kebun, mandor, hingga sopir di lapangan,” kata Zainal.
Situasi ini sudah mulai terlihat dari penyerahan lahan sawit kepada PT Agrinas Palma Nusantara yang justru menciptakan ketidakpastian terhadap status kerja ribuan buruh sawit, tanpa kejelasan apakah mereka dialihkan ke perusahaan baru, tetap diakui sebagai pekerja lama, atau kehilangan pekerjaan sama sekali.
“Pemerintah jangan menutup mata jika terjadi PHK massal,” tambahnya.
PUSTAKA ALAM pun berharap Satgas PKH tidak semata-mata mengedepankan pendekatan koersif dalam penagihan denda, melainkan memberikan ruang yang adil bagi perusahaan untuk menempuh upaya hukum.
Menurut mereka, jika aparat penegak hukum lebih mengedepankan ancaman dibandingkan proses hukum yang berkeadilan, maka iklim investasi nasional—khususnya di sektor perkebunan—akan semakin tertekan dan membuat investor enggan menanamkan modalnya di Indonesia.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *