
sawitsetara.co - JAKARTA - Langkah Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dalam mengembalikan jutaan hektar lahan ke negara menuai sorotan tajam. Pusat Studi dan Advokasi Hukum Sumber Daya Alam (Pustaka Alam) mengungkap ratusan ribu hektar kebun sawit rakyat diduga ikut “disapu” dalam operasi penguasaan kembali lahan yang dilaporkan ke Presiden Prabowo Subianto.
“Selama ini Satgas PKH mengklaim seluruh lahan yang diambil alih adalah milik perusahaan besar. Namun hasil kajian kami menunjukkan fakta berbeda,” ujar Direktur Pustaka Alam, Muhamad Zainal Arifin dikutip dari Kompas.com.
“Sekitar 614.235 hektar kebun sawit yang dikuasai kembali justru milik petani rakyat, bukan perusahaan,” tegasnya.
Menurut data resmi Satgas PKH per 1 Oktober 2025, total 3,4 juta hektar kawasan hutan telah dikuasai kembali, dan 1,5 juta hektar di antaranya diserahkan ke PT Agrinas Palma Nusantara, entitas milik negara yang ditugaskan mengelola lahan hasil penertiban.

Namun, dari analisis dokumen resmi seperti SK Data dan Informasi Kegiatan Usaha (SK DATIN) I–XXIII serta rekap penyerahan lahan ke Agrinas Palma, Pustaka Alam menemukan ratusan ribu hektar lahan rakyat ikut masuk dalam daftar objek penertiban.
“Satgas menggunakan izin lokasi perusahaan sebagai dasar klaim penguasaan kembali, padahal di lapangan, lahan itu sudah lama digarap petani secara mandiri bahkan sebelum izin itu terbit,” ungkap Zainal.
Dalam kajian Pustaka Alam di beberapa provinsi, ditemukan sejumlah kasus konkret. Di Kalimantan Tengah, misalnya, areal seluas 571,47 hektar di wilayah PT UP ternyata merupakan lahan masyarakat yang turut diambil alih.
Kasus serupa terjadi di Provinsi Riau, di mana 7.402,35 hektar dari total 7.520 hektar areal PT GH adalah kebun rakyat yang ikut “dikembalikan” ke negara.
“Kondisi ini sangat berbahaya. Konflik horizontal bisa meledak kapan saja karena petani pasti berupaya mempertahankan kebun mereka, sementara pihak Agrinas Palma dan mitra kerja sama operasi (KSO) justru mulai memanen hasil di atas lahan tersebut,” ujar Zainal.
Ia menambahkan, aktivitas panen oleh mitra KSO sering dikawal aparat keamanan, menciptakan ketimpangan kekuasaan di lapangan. “Petani sawit yang memperjuangkan haknya justru diperlakukan sebagai penggarap ilegal di tanah mereka sendiri,” sindirnya.
Lebih jauh, Pustaka Alam menyoroti potensi denda administratif fantastis yang bisa menjerat petani akibat penerapan PP Nomor 45 Tahun 2025. Jika 614 ribu hektar kebun rakyat dianggap sebagai kegiatan tanpa izin selama 20 tahun dan dikenai denda Rp 375 juta per hektar, maka totalnya bisa mencapai Rp 230,34 triliun.
“Kami mendesak Presiden Prabowo untuk segera memerintahkan evaluasi dan verifikasi ulang data penguasaan lahan oleh Satgas PKH. Selain itu, penerapan PP 45/2025 juga harus ditinjau ulang agar tidak memukul petani kecil,” tegas Zainal.

Nada serupa datang dari Wakil Ketua Umum Asosiasi Sawitku Masa Depanku (Samade), Abdul Aziz. Ia menilai kebijakan penertiban kawasan hutan yang tumpang tindih dengan wilayah perkebunan sawit rakyat telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang serius.
“Banyak petani yang kebunnya sudah bersertifikat, bahkan memiliki HGU, tiba-tiba diklaim berada di kawasan hutan. Ini bukan soal menolak aturan, tapi soal kejelasan dan keadilan hukum,” ujar Aziz.
Menurutnya, akar masalah ada pada ketidakjelasan data kawasan hutan yang dibuat oleh Kementerian Kehutanan. “Selama data tidak transparan dan tidak diverifikasi di lapangan, yang dirugikan selalu petani kecil,” tambahnya.
Menanggapi kritik itu, Ketua Pelaksana Satgas PKH, Febrie Adriansyah, menegaskan bahwa kebijakan penertiban kawasan hutan bukan semata-mata untuk menghukum, tetapi untuk mengembalikan hak negara atas kawasan hutan yang dikuasai secara tidak sah.
“Setiap pelaku diwajibkan mengembalikan seluruh keuntungan yang diperoleh dari lahan di kawasan hutan kepada negara. Bila ada pihak yang tidak kooperatif, prosesnya bisa ditingkatkan ke ranah hukum pidana — baik korupsi maupun TPPU,” ujarnya tegas.

Menurut Febrie, langkah tegas ini diperlukan untuk memperkuat posisi negara dalam pengelolaan sumber daya alam demi kepentingan rakyat.
Kasus ini menjadi ujian besar bagi pemerintah dalam menata ulang tata kelola sawit nasional. Di satu sisi, negara ingin menertibkan kawasan hutan; di sisi lain, ratusan ribu petani sawit rakyat menuntut kepastian hukum atas lahan yang telah mereka kelola selama puluhan tahun.
Seruan Pustaka Alam dan Samade seolah menjadi pengingat bahwa reforma agraria tidak akan berarti tanpa keadilan bagi petani kecil — para penjaga rantai terpenting industri sawit Indonesia.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *