KONSULTASI
Logo

Romantisme Ketahanan Pangan Menurut Petani Sawit dan NTP

15 Desember 2025
AuthorIbnu
EditorIbnu
Romantisme Ketahanan Pangan Menurut Petani Sawit dan NTP
HOT NEWS

sawitsetara.co – JAKARTA – Perubahan iklim global telah menjadi ancaman dunia terkait ketahanan pangan dan hal ini menjadi perhatian serius Kementerian Pertanian (Kementan).

Adapun untuk mendukung Kementan terkait swasemba pangan dan hilirisasi, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) melakukan pertemuan nasional dengan Topik ketahanan pangan dan hilirisasi menjadi topik pada acara "Dialog HKTI bersama Menteri Pertanian (16/12) yang mengundang semua pelaku usahatani tanaman pangan, horti, perkebunan dan pihak terkait lainnya.

Pada Pertemuan dan Dialog HKTI ini akan mengambil Tema "Bersama Presiden Prabowo Mewujudkan Swasembada Pangan Berkelanjutan dan Hilirisasi.”

Indonesia memang memiliki segudang bahan pangan, tapi yang namanya ketahanan pangan menurut beberapa pengamat bukan hanya identik dengan beras.

Ketahanan pangan di defenisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara hingga individu, yang dicirikan oleh ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas pangan yang cukup, aman, bergizi, beragam, merata, serta terjangkau, agar setiap orang dapat hidup sehat dan produktif, bebas dari ancaman kelaparan.

Dari defenisi ini ketahanan pangan juga terkait dengan daya beli masyarakat terhadap bahan pangan, bisa beras atau yang lainnya apalagi generasi Z atau dikenal dengan Gen Z sudah mengurangi konsumsi beras.

“Jadi persepsi kami petani sawit, mempunyai sudut pandang untuk mewakili semua faktor. Menurut kami petani sawit yang juga bagian dari ketahanan pangan mempunyai sudut pandang yang namannya ketahanan pangan yaitu bagaimana masyarakat bisa membeli produk-produk pangan,” jelas Ketua Umum DPP APKASINDO, Dr.Gulat Manurung, MP., C.IMA., C.APO kepada sawitsetara.co, Senin (15/12/2025).


Sawit Setara Default Ad Banner

Selain itu, Dr.Gulat juga menjelaskan bahwa petani sawit saat ini mempunyai nilai tukar petani (NTP) antara 150– 170, tertingi dari semua sektor usaha tani. Ini menandakan bahwa daya belinya lebih tinggi sehingga bisa memutar ekonomi didaerah dan multiplier effect yang sangat luas. Artinya dampak dari petani sawit sangat besar secara ekonomi makro.

“Kalau ekonomi petani sawit berputar maka berputar juga ekonomi secara umum, sehingga daya beli masyarakat sebagai dampak ekonomi sawit menjadi penting dengan istilah ketahanan pangan, karena kebutuhan pokok pangan seperti beras akan terjangkau masyarakat. Saya bukan ahli ekonomi tapi yang pernah saya pelajari bahwa ketahanan pangan itu berkorelasi dengan daya beli,” jelas Dr.Gulat.


Sawit Setara Default Ad Banner

Lebih lanjut, Dr. Gulat juga menyambut baik dari ide Presiden Prabowo untuk mewujudkan ketahanan pangan melalui swasembada dan hilirisasi, karena ketahanan pangan memang berkaitan dengan pertahanan negara.

Terkait hilirsasi sudah sangat tepat, yakni jangan menjual produk bahan baku tapi harus menjadi barang setengah jadi atau bila perlu barang jadi, termasuk sawit.

Sebab tidak ada negara lain tidak sehebat Indonesia dibidang hilirisasi sawit bahkan Indonesia sekarang akan menuju ke B50 (50 persen berbahan baku sawit). Namun harus diperhatikan bahwa hilirisasi tanpa perbaikan sektor hulu (huluisasi) itu akan sia-sia.

“Hal ini karena saat ini hilirnya berjalan kencang tapi hulunya mogok dan tidak bisa mengimbangi suply bahan baku untuk hilirnya. Oleh karena itu hilirisasi harus berjalan seiring dengan huluisasi yang mana huluisasi sawit di Indonesia tertinggal jauh dari hilirisasi,” papar Dr.Gulat, sehabis memimpin rapat kordinasi tentang mitigasi dampak bencana sumatera melalui jalinan kasi petani sawit Indonesia di Kantor Pusat DPP APKASINDO, Jakarta (15/12).


Sawit Setara Default Ad Banner

Jadi, huluisasi sawit harus menjadi perhatian serius semua stakeholder sawit termasuk pemerintah sebagai operator regulasi.

"Terkait huluisasi ini tidak ada jalan lain harus dengan PSR (Peremajaan Sawit Rakyat), karena masalah sawit Indonesia ada di perkebunan sawit rakyat, khususnya terkait produktivitas dan tidak kalah urgen juga dengan klaim kawasan hutan oleh kementerian kehutanan," ulas Dr Gulat.

Adalah benar ungkapan sastra terkait romantisme demikian juga terkait sawit Indonesia.

"Berhentilah romantisme saling klaim antar K/L, kita harus menyatukan pemahaman ketahanan pangan salah satunya melalui daya dukung ekonomi petani sawit dan itu hanya bisa tercapai melalui didirikannya Badan Kelapa Sawit Nasional (BKSN)," pungkasnya.



Berita Sebelumnya
Demokrasi Ekonomi — Ketika Setiap Suara Sama Beratnya, Bahkan Yang Hanya Punya Rp 10.000

Demokrasi Ekonomi — Ketika Setiap Suara Sama Beratnya, Bahkan Yang Hanya Punya Rp 10.000

Di dunia kapitalis konvensional, berlaku hukum one dollar, one vote. Saham terbanyak menentukan keputusan. Kekayaan menentukan kekuasaan. Yang kaya semakin kaya, yang miskin tetap miskin—atau semakin miskin.

14 Desember 2025 | Edukasi

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *