KONSULTASI
Logo

Sertifikasi ISPO di Papua Selatan Macet, Petani: Masalahnya Bukan Regulasi, Tapi Legalitas Lahan Tak Kunjung Selesai

2 Desember 2025
AuthorDwi Fatimah
EditorDwi Fatimah
Sertifikasi ISPO di Papua Selatan Macet, Petani: Masalahnya Bukan Regulasi, Tapi Legalitas Lahan Tak Kunjung Selesai
HOT NEWS

sawitsetara.co - Upaya pemerintah mempercepat sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) kembali menghadapi dinding tebal di Papua Selatan. Meski Permentan 33/2025 sebagai aturan turunan Perpres 16/2025 sudah resmi terbit, laju implementasinya di lapangan justru tersendat. Para petani menegaskan, penyebab utamanya bukan pada regulasi, melainkan pada mandeknya penyelesaian legalitas lahan oleh Kementerian ATR/BPN.

Ketua DPW APKASINDO Papua Selatan, Makarius Meki Tama, tak menutupi kekecewaannya. Ia menilai upaya sertifikasi mustahil bergerak selama status lahan komunal yang menjadi ciri utama sistem kepemilikan tanah di Papua Selatan tidak dirapikan lebih dulu.

“Tanah adat ini diwariskan turun-temurun. Bagaimana mau sertifikasi kalau haknya saja belum ditetapkan? Ini harus dibereskan dulu oleh ATR/BPN, jangan bebannya dilempar ke petani,” tegas Makarius.

Menurutnya, hingga saat ini belum terlihat langkah konkret dari BPN untuk mempercepat pengakuan dan penetapan hak atas tanah masyarakat. Situasi tersebut membuat para petani merasa dikejar untuk memenuhi ISPO, padahal pondasi administratifnya belum disiapkan negara.

natal dpp

Tak hanya soal legalitas, tumpang tindih lahan juga masih marak. Di beberapa titik, masyarakat mengaku lahannya diakuisisi perusahaan tanpa proses penyelesaian yang tuntas. Sengkarut ini membuat posisi petani semakin lemah, sementara tekanan menuju sertifikasi terus meningkat.

Kondisi diperparah dengan praktik pabrik yang membeli tandan buah segar (TBS) jauh di bawah harga penetapan pemerintah provinsi. Makarius menyebut sebagian perusahaan masih “bermain harga”, membuat petani terdesak dari dua arah sekaligus.

“Harga itu ada aturannya. Bukan perusahaan yang tentukan sesuka hati,” ujarnya.

Sementara pemerintah mendorong hilirisasi besar-besaran, Makarius mengingatkan bahwa program itu hanya akan berarti jika masyarakat lokal benar-benar dilibatkan. Ia menolak jika hilirisasi hanya menjadikan petani sebagai pemasok bahan baku murah, sementara nilai tambah dinikmati pihak lain.

“Kalau industrinya hadir, harusnya membawa dampak ke harga TBS, bukan malah makin menekan,” katanya.

natal dpp

Di tengah berbagai persoalan itu, data dasar perkebunan di Papua Selatan pun masih belum jelas. Proyek sawit berbasis masyarakat di Merauke baru mencatat 1.000 hektare dari target 5.657 hektare. Sementara itu, data BPS 2024 hanya menyebutkan total luas perkebunan 97,77 ribu hektare tanpa rincian spesifik sawit, menunjukkan betapa simpangnya informasi dasar yang seharusnya menjadi pijakan sertifikasi.

Dengan situasi seperti ini, percepatan ISPO tampak jauh dari kata realistis. Bagi para petani Papua Selatan, sertifikasi hanya dapat berjalan ketika legalitas lahan diakui, hak adat dipastikan, dan tata kelola pembelian TBS ditegakkan. Tanpa itu, mereka menilai program sebesar apa pun hanya akan berputar di atas kertas.



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *