KONSULTASI
Logo

Sertifikasi Sawit Masih Sarat Masalah, Revisi ISPO Diharapkan Jadi Titik Balik

23 Desember 2025
AuthorDwi Fatimah
EditorDwi Fatimah
Sertifikasi Sawit Masih Sarat Masalah, Revisi ISPO Diharapkan Jadi Titik Balik

sawitsetara.co - Upaya mewujudkan tata kelola sawit berkelanjutan di Indonesia masih menghadapi persoalan klasik. Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang menjadi instrumen utama keberlanjutan, belum sepenuhnya berjalan ideal—baik di tingkat petani maupun korporasi.

Pemerintah mencoba menjawab tantangan tersebut lewat revisi kebijakan. Dua aturan baru diterbitkan, yakni Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 33 Tahun 2025 tentang Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO), serta Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 38 Tahun 2025 tentang ISPO untuk Industri Hilir Kelapa Sawit Indonesia.

Namun, kebijakan baru ini langsung menuai sorotan berbagai pihak. Salah satunya datang dari Kaoem Telapak, organisasi masyarakat sipil yang fokus pada pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Dalam diskusi kelompok terfokus bertema “Multipihak Pembaruan ISPO” di Jakarta, Senin (22/12/2025), organisasi ini membeberkan berbagai temuan di lapangan yang menunjukkan masih lemahnya kepatuhan terhadap ISPO.

Anggota staf Kaoem Telapak, Ziadatunnisa Ilmi, mengungkapkan bahwa banyak perusahaan sawit yang telah mengantongi sertifikat ISPO, namun masih melakukan pelanggaran. Pelanggaran tersebut meliputi tidak dilibatkannya petani dalam aktivitas perkebunan, konflik tenurial, persoalan Hak Guna Usaha (HGU), hingga pelanggaran kawasan sempadan sungai.


natal dpp

“Kami melakukan riset di lima provinsi penghasil sawit, yakni Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Sulawesi Tenggara, dan Papua. Hasilnya menunjukkan, meskipun sebagian besar perusahaan sudah bersertifikat ISPO, pelanggaran di lapangan masih banyak ditemukan,” ujar Zia dikutip dari kompas.id

Di Riau, misalnya, sekitar 85 persen perusahaan sawit telah mengantongi ISPO. Namun, Kaoem Telapak masih menemukan praktik penanaman di sempadan sungai. Di Kalimantan Utara, dari total kawasan sawit yang diteliti, baru 41 persen perusahaan yang tersertifikasi ISPO, sementara konflik tenurial masih marak. Kalimantan Tengah mencatat 106 perusahaan tersertifikasi dari total 216 perusahaan. Di Papua, dari total 75.000 hektare perkebunan sawit, baru sekitar 37.000 hektare yang tersertifikasi. Kondisi terburuk ditemukan di Sulawesi Tenggara, di mana hanya tiga dari 19 perusahaan sawit yang mengantongi ISPO.

“Ini memang masih berbasis sampling, tetapi kami memantau langsung aktivitas perusahaan bersertifikat ISPO dan tetap menemukan banyak pelanggaran,” kata Zia.

Persoalan lebih berat justru dihadapi petani sawit. Data Direktorat Jenderal Perkebunan menunjukkan, dari total 6,94 juta hektare lahan sawit rakyat, baru sekitar 100.000 hektare yang tersertifikasi ISPO.

natal dpp

Manajer Komunikasi Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi), Alwan Ridha Ramdani, menyebut proses sertifikasi di tingkat petani sangat panjang dan berbiaya tinggi. Tahapannya meliputi pembentukan kelompok, pendataan, pelatihan, audit internal, hingga audit eksternal.

“Kami bahkan harus menjemput bola agar petani mau bergabung. Kalau tidak, hampir tidak ada yang mendaftar,” ujar Alwan.

Masalah utama lainnya adalah legalitas lahan. Dalam proses pendataan, tidak jarang ditemukan kebun petani yang berada di kawasan hutan, sehingga menyulitkan proses sertifikasi.

Menanggapi berbagai persoalan tersebut, Ketua Tim Percepatan dan Penerapan ISPO, Rismansyah Danasaputra, menegaskan bahwa revisi Permentan No 33 Tahun 2025 dirancang untuk memperjelas arah kebijakan dan memperkuat penerapan prinsip keberlanjutan.

“Persyaratan memang lebih banyak, tetapi jauh lebih fokus. Tujuannya agar sektor sawit tidak lagi berada di wilayah abu-abu,” ujar Rismansyah.

Ia juga menekankan, kebijakan baru ini membuka ruang lebih luas bagi keterlibatan multipihak, termasuk LSM, untuk ikut memantau praktik perkebunan di lapangan. Pemerintah pun kini lebih tegas dalam pemberian sanksi.

Jika sebelumnya sanksi hanya bersifat administratif, kini pelanggaran dapat berujung pada denda administratif, penghentian sementara proses sertifikasi, hingga pencabutan sertifikat ISPO. Meski demikian, baik petani maupun korporasi diberikan masa transisi selama empat tahun sejak kebijakan diberlakukan untuk memenuhi kewajiban sertifikasi.

“ISPO bukan sekadar pencitraan. Ini untuk memastikan rantai pasok sawit benar-benar berkelanjutan, dari hulu sampai hilir,” tegas Rismansyah.

natal dpp

Dari sisi hilir, Kementerian Perindustrian juga memperkuat kebijakan melalui Permenperin No 38 Tahun 2025. Citra Rapati dari Direktorat Industri Kimia, Oleokimia, dan Pakan menjelaskan, pemerintah memastikan industri pengolahan sawit hanya menggunakan bahan baku dari sumber bersertifikat ISPO.

Saat ini, Kemenperin tengah menyiapkan national dashboard yang memungkinkan publik memantau asal-usul bahan baku sawit hingga produk turunannya.

“Dengan sistem ini, semua pihak bisa melihat bahwa bahan baku industri hilir berasal dari pekebun atau perusahaan yang bersertifikasi ISPO,” ujar Citra.

Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, menyatakan hampir seluruh anggota Gapki telah mengantongi sertifikasi ISPO. Menurutnya, sertifikasi tersebut mensyaratkan kepatuhan ketat terhadap tata ruang, perlindungan daerah aliran sungai (DAS), serta standar pengelolaan lingkungan lainnya.

“Jika perusahaan melanggar ketentuan tata ruang atau DAS, sertifikat ISPO tidak akan diberikan,” kata Eddy.

Ia menegaskan, Gapki berkomitmen menjalankan seluruh kebijakan pemerintah dan menjadikan sertifikasi ISPO serta RSPO sebagai fondasi pembangunan sawit berkelanjutan di Indonesia.


Berita Sebelumnya
Oktober 2025, Harga  Referensi CPO Menguat

Oktober 2025, Harga Referensi CPO Menguat

Harga Referensi (HR) komoditas minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) untuk penetapan Bea Keluar (BK) dan tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan (BLU BPDP), atau biasa dikenal sebagai Pungutan Ekspor (PE), untuk periode Oktober 2025 adalah sebesar USD963,61/MT. Nilai ini meningkat sebesar USD8,89 atau 0,93 persen dari HR CPO periode September 2025 yang tercatat sebesar USD954,71/MT.

| Berita

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *