sawitsetara.co - JAKARTA - Sebuah studi terbaru mengungkapkan bahwa 94% petani kecil kelapa sawit di Indonesia belum memahami regulasi deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang akan berlaku pada 2026. Kondisi ini, menurut para ahli, sangat mengkhawatirkan karena berpotensi mengisolasi jutaan petani dari pasar global.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Afaqa Hudaya, menyoroti beberapa tantangan utama. Selain kurangnya kesadaran, sebagian besar petani juga menghadapi masalah seperti ketiadaan Data Geolokasi di mana 69% petani tidak memiliki data geolokasi yang diperlukan.
Selain itu juga registrasi kebun yang belum lengkap di mana 67% petani belum terdaftar dalam sistem registrasi kebun, dan ketergantungan pada perantara yang man 76% petani masih bergantung pada perantara, yang menyulitkan pelacakan produk.
“Hambatan struktural seperti ketiadaan sertifikat tanah, akses teknologi yang terbatas, dan rendahnya produktivitas semakin memperbesar risiko eksklusi petani kecil,” kata Afaqa Hudaya dalam keterangannya di Jakarta, Senin (29/9/2025), seperti dikutip wartaekonomi.co.id.
Direktur Kerja Sama Internasional INDEF, Imaduddin Abdullah, menekankan pentingnya sektor sawit bagi perekonomian Indonesia. Kontribusinya terhadap PDB nasional mencapai 3,5% dan menyerap 16,2 juta tenaga kerja. Imaduddin memperingatkan bahwa tanpa kebijakan yang inklusif, EUDR berpotensi meminggirkan 5-6 juta petani kecil.
Sebagai solusi, Imaduddin menyarankan penggunaan skema Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai jembatan antara standar lokal dan EUDR. Namun, ia juga menyoroti tantangan biaya sertifikasi ISPO yang mencapai Rp1-2 juta per hektare dengan masa berlaku hanya lima tahun, yang dinilai memberatkan petani kecil.
Isu Legalitas Lahan dan Upaya Perlindungan
Isu legalitas lahan juga menjadi hambatan signifikan. Banyak petani yang memiliki Sertifikat Hak Milik justru dikategorikan berada di kawasan hutan, sehingga mereka kesulitan mendapatkan sertifikasi dan akses pembiayaan. INDEF menekankan pentingnya reforma agraria, penguatan sistem data e-STDB, serta diplomasi internasional melalui CPOPC, WTO, dan FAO untuk melindungi petani dari dampak regulasi Eropa.
“Perlindungan terhadap petani kecil tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi seluruh pemangku kepentingan industri sawit,” tegas Imaduddin.
Sebelumnya Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Dr. Gulat ME Manurung, MP., C. IMA., C. APO, juga mengingatkan stakeholder kelapa sawit agar tak terlampau meromantisasi hubungan dengan Uni Eropa (UE) terkait sawit. Jika negara di Eropa tidak berkenan membeli CPO dari Indonesia, bisa digunakan untuk kebutuhan domestik, karena serapan UE juga tidaklah banyak.
“Kita jangan terlampau romantisme yang berlebihan dengan Uni Eropa. Berkali-kali Bapak Presiden Prabowo Subianto mengatakan tentang ketahanan energi bersumber dari minyak nabati sawit dan tahun depan sudah menuju B50,” kata Dr. Gulat saat menjadi narasumber stasiun televisi IDX Channel, diikutip Jumat (25/9/2025).
Seperti diketahui, pemerintah Indonesia telah menyelesaikan secara substantif Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement/I-EU CEPA). I-EU CEPA ini mengeliminasi hingga 98% total tarif perdagangan barang dan jasa, serta membuka jalan untuk investasi.
Dengan demikian terbuka gerbang ekspor Indonesia ke Uni Eropa antara lain minyak kelapa sawit dan turunannya; bijih tembaga dan konsentratnya; asam lemak monokarboksilat industri; alas kaki dengan sol luar dari karet, plastik, atau kulit dan bagian atas dari kulit; serta bungkil minyak dan residu padat lainnya.
Namun, menurut Dr. Gulat, kesepakatan I-EU CEPA ini sebenarnya tidak begitu berguna karena ada ‘pintu’ lain yang menghalangi ekspor CPO yaitu aturan European Deforestation Regulation (EUDR). Regulasi EUDR sendiri menurut Dr. Gulat banyak kendala terkhusus kepada petani sawit.
“Sertifikasi EUDR itu bagai langit dan bumi bagi petani sawit Indonesia. Sulit dicapai level petani sawit, seharusnya pemerintah memberikan perhatian lebih khusus dan serius kepada hambatan petani sawit terkhusus terkait klaim-klaim kawasan hutan,” jelas Gulat.
Tags:
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *