
sawitsetara.co PEKANBARU – Lima bulan lalu, warga yang berada di dalam Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) diminta melakukan relokasi mandiri setelah penumbangan kebun sawit dan pemasangan plang oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH). Namun, Rencana ini batal setelah ada desakan warga dan rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Komandan Satgas PKH Mayjen TNI Dody Triwinarto, mengatakan satgas kini berupaya mencari lahan pengganti untuk pemukiman dan kebun warga. Fokus utama mereka adalah kawasan hutan di sekitar TNTN yang memiliki perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH).
Lahan pengganti ini nantinya akan dikelola langsung oleh masyarakat, dengan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mengatur skema dan teknisnya. Dody menyebutkan, proses pendaftarannya mudah. Tapi tetap harus verifikasi. Syaratnya antara lain merupakan kelompok tani, masyarakat, atau perorangan.

“Lahan pengganti akan masyarakat kelola langsung. Kemenhut yang akan mengatur skema dan teknisnya,” katanya kepada Mongabay, dikutip Selasa (4/11/2025).
Relokasi: Solusi atau Masalah?
Namun, Abdul Aziz, juru bicara warga terdampak TNTN, mempertanyakan efektivitas relokasi. Menurutnya, relokasi tidak akan menyelesaikan akar masalah tata batas kawasan hutan yang belum tuntas. Ia menekankan bahwa penetapan TNTN sejak awal tidak mengikuti prosedur yang benar.
“Sebenarnya bukan persoalan relokasi semata. Dudukkan dulu substansi persoalan kawasan ini. Ada ketidakberesan dalam proses pembentukan TNTN. Ditambah lagi, ketidakbecusan (instansi) Kehutanan mengelola kawasan setelah ditetapkan,” katanya kepada Mongabay.

Aziz meminta pemerintah mengakui kesalahan dan menata ulang kawasan hutan di Riau. Ia menolak relokasi karena tidak sesuai dengan aturan yang ada. Sebagai solusi, ia menawarkan agar pemerintah mengambil sebagian izin PBPH untuk masyarakat hutankan kembali secara swadaya. “Kami minta 75.000 hektar. Kami hijaukan!” tegasnya.
Lahan pengganti juga berpotensi menimbulkan masalah baru karena sudah dikuasai masyarakat, yang dapat memicu konflik horizontal. Mulyanto, warga Dusun Toro Palembang, khawatir TNTN akan menjadi sarang mafia lahan, sementara lahan pengganti menimbulkan kekacauan baru.
“Sebenarnya berat direlokasi dari Toro. Kami sudah nyaman. Walau jauh dari keramaian, bagi kami, di sini surga kami,” katanya.

Okto Yugo Setiyo, Koordinator Jikalahari, mengingatkan tentang konsep penyelesaian sawit dalam TNTN yang telah tertuang dalam Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN). Namun, konsep tersebut belum berjalan efektif. Ia menekankan peran Kemenhut yang seharusnya memimpin pelaksanaan konsep tersebut.
“Padahal secara hukum yang punya wilayah atau kewenangan di TNTN itu, Kementerian Kehutanan,” katanya.
Okto menyarankan agar masyarakat yang memiliki sawit dalam TNTN mengikuti skema kemitraan konservasi. Ia menekankan pentingnya peran Kemenhut dalam mencari solusi jangka pendek dan panjang.
“Peran Kemenhut harus muncul lagi dalam masalah TNTN. Dia juga anggota Satgas PKH. Solusi jangka pendek dan panjang harusnya dijalankan kementerian terkait,” kata Okto.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *