KONSULTASI
Logo

Banjir Bandang dan Narasi yang Keliru: Memahami Peran Hutan, Sawit, dan Cuaca Ekstrem

4 Desember 2025
AuthorTim Redaksi
EditorHendrik Khoirul
Banjir Bandang dan Narasi yang Keliru: Memahami Peran Hutan, Sawit, dan Cuaca Ekstrem
HOT NEWS

sawitsetara.co - BOGOR - Setiap kali banjir bandang melanda suatu wilayah, reaksi publik hampir selalu seragam: jari telunjuk diarahkan ke hutan gundul dan kebun sawit. Media, warganet, dan bahkan sebagian pejabat sering menyimpulkan dengan segera bahwa perusakan hutan di hulu adalah penyebab utama bencana.

Narasi ini sedemikian populer sehingga perlahan menjadi semacam “kebenaran bersama”, diterima tanpa perlu pengujian lebih lanjut. Namun, seperti banyak narasi sederhana lainnya, ia gagal menjelaskan kompleksitas sebenarnya.

Pertama-tama, lanskap hulu tidak hanya terdiri dari dua kategori besar: hutan dan sawit. Ada kebun karet, kopi, kakao, campuran agroforestri, ladang permanen, ladang berpindah yang sudah tua, semak belukar, permukiman, jalan, serta jaringan drainase yang buruk.

Menyempitkan analisis hanya pada dua jenis lahan—hutan dan sawit—adalah reduksi yang terlalu kasar. Ia menghilangkan kompleksitas penggunaan ruang serta dinamika perubahan hidrologis yang dipicu oleh berbagai jenis intervensi manusia, termasuk pembangunan permukiman dan infrastruktur.

Benar bahwa dalam kondisi iklim dan curah hujan tahunan yang normal, hutan alam memiliki keunggulan hidrologis yang tidak tertandingi. Tajuk yang rapat memberikan intersepsi tinggi, lapisan serasah memperlambat aliran permukaan, akar yang dalam dan beragam menjaga porositas tanah, dan biota tanah menciptakan biopori yang memperbesar kapasitas infiltrasi.

Dalam keadaan ini, hutan berfungsi sebagai sistem penyangga limpasan yang sangat efektif. Kinerja hidrologisnya jauh melampaui kinerja hidrologis kebun apa pun, termasuk sawit, karet, ataupun ladang.

natal dpp

Namun publik sering gagal melihat bahwa keunggulan ini bukanlah nilai tetap yang berlaku untuk semua kondisi. Hutan tetap unggul, tetapi hanya sampai batasnya. Dalam situasi curah hujan ekstrem—yakni hujan dengan intensitas sangat tinggi yang berlangsung lama, berjam-jam hingga berhari-hari—keunggulan hidrologis ini mengalami pelemahan signifikan.

Setelah kapasitas intersepsi terpenuhi dan tanah mencapai titik jenuh, kemampuan sistem hutan untuk menyerap air menurun drastis. Kapasitas infiltrasi tanah yang semula tinggi bergerak turun seiring meningkatnya kadar air. Pada titik tertentu, hutan yang paling sehat sekalipun akan menghasilkan limpasan yang substansial. Pada fase kritis ini, perbedaan antara hutan primer dan kebun sawit—atau penggunaan lahan lain—menyempit tajam.

Fenomena ini menjelaskan mengapa menghubungkan banjir bandang secara langsung dengan deforestasi atau kehadiran sawit sering kali menghasilkan pemahaman yang jauh dari realitas. Bukan karena hutan tidak penting, tetapi karena dalam kondisi ekstrem, determinannya bergeser: bukan lagi jenis tutupan lahan yang dominan, melainkan intensitas dan lamanya hujan itu sendiri. Ketika atmosfer melepaskan ribuan milimeter air dalam waktu singkat, tak ada sistem hidrologi yang mampu sepenuhnya meredam dampaknya.

Lanskap mana pun—hutan perawan, kebun campuran, sawit monokultur, atau permukiman—akan menghadapi batas fisik yang sama: jenuhnya tanah, melimpahnya air permukaan, dan percepatan aliran menuju sungai. Membayangkan bahwa hutan mampu menjadi “tameng absolut” terhadap semua banjir bandang adalah harapan yang tidak sejalan dengan proses hidrologi nyata.

Jika demikian, mengapa publik tetap terjebak pada narasi lama yang menyalahkan sawit atau hutan gundul? Ini terjadi karena dua alasan. Pertama, penjelasan yang sederhana lebih mudah diterima publik ketimbang penjelasan hidrologis yang kompleks. Kedua, ada kecenderungan moralistik untuk menilai bahwa bencana pasti merupakan akibat dari tindakan manusia yang merusak alam—meskipun realitas ilmiahnya lebih berlapis. Sementara itu, faktor meteorologi jarang mendapat perhatian, padahal pada banyak kasus banjir bandang ekstrem, elemen cuaca justru merupakan penyebab paling dominan.

natal dpp

Fenomena curah hujan ekstrem bukanlah anomali dan bukan semata akibat perubahan iklim modern. Di wilayah tropis basah seperti Indonesia, sistem iklim memang memiliki kapasitas alami menghasilkan hujan ekstrem dengan siklus tertentu. Perubahan iklim meningkatkan frekuensinya, tetapi keberadaannya sudah menjadi bagian dari dinamika atmosfer tropis sejak lama. Artinya, kejadian ekstrem seperti ini akan terus berulang. Yang harus ditingkatkan bukan hanya kondisi lahannya, tetapi kesiapsiagaan masyarakatnya.

Di sinilah inti persoalan. Kita sebenarnya sudah memiliki contoh pembelajaran kolektif yang berhasil: masyarakat pesisir Indonesia kini jauh lebih terlatih menghadapi potensi tsunami. Gempa kuat dipahami sebagai sinyal bahaya, masyarakat bergerak spontan, dan banyak nyawa terselamatkan karena respons cepat. Budaya sadar-risiko ini dibangun dari pengalaman pahit tetapi kini menjadi modal sosial yang berharga.

Hal serupa perlu dilakukan terhadap cuaca ekstrem di wilayah daratan. Dengan pemodelan hidrometeorologi yang semakin akurat—memperkirakan kekuatan badai, memetakan wilayah yang akan terdampak, hingga memprediksi tingkat intensitas bahaya—masyarakat dapat dipersiapkan untuk menghadapi banjir bandang sebelum ia terjadi. Jalur evakuasi yang jelas, sistem peringatan dini yang efektif, kanal komunikasi yang cepat, serta simulasi rutin dapat menjadi pelindung yang lebih nyata ketimbang sekadar menyalahkan sawit atau hutan gundul setelah bencana terjadi.

Kesimpulannya, memahami banjir bandang membutuhkan pendekatan yang lebih jujur dan komprehensif. Hutan tetap penting dan harus dijaga, tetapi ia bukan jawaban tunggal atas persoalan hidrologi ekstrem. Dalam kondisi cuaca ekstrem, batas fisik sistem hidrologi menjadi penentu utama. Daripada terjebak dalam narasi simplistis, kita perlu membangun pendekatan yang lebih ilmiah: menggabungkan perbaikan tata guna lahan dengan penguatan kapasitas adaptasi masyarakat.

Badai akan datang lagi. Yang menentukan apakah ia berubah menjadi bencana besar bukan hanya tutupan lahannya, tetapi seberapa siap masyarakat menghadapi kenyataan alam tersebut.

*Penulis adalah Prof. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, M.Sc. adalah Guru Besar di Institut Pertanian Bogor (IPB) yang memiliki keahlian di bidang Ekonomi Kehutanan dan Lingkungan. Ia dikenal karena kritiknya terhadap kebijakan lingkungan dan pandangannya mengenai isu-isu seperti deforestasi dan pengelolaan sumber daya alam.



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *