KONSULTASI
Logo

Bukan Rambah Hutan, Penelitian Ungkap Mayoritas Ekspansi Kebun Sawit dari Lahan Terdegradasi

30 Desember 2025
AuthorHendrik Khoirul
EditorDwi Fatimah
Bukan Rambah Hutan, Penelitian Ungkap Mayoritas Ekspansi Kebun Sawit dari Lahan Terdegradasi
HOT NEWS

sawitsetara.co – JAKARTA – Narasi bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang dengan mengorbankan hutan alam kembali dipatahkan oleh hasil kajian ilmiah berbasis data spasial nasional. Analisis perubahan tutupan lahan menunjukkan ekspansi sawit selama hampir tiga dekade justru lebih banyak memanfaatkan lahan terdegradasi yang telah kehilangan fungsi ekologisnya.

Kajian asal-usul lahan kebun sawit ini dilakukan oleh peneliti kehutanan dan penggunaan lahan dengan mengolah data perubahan tutupan lahan berbasis citra satelit yang diterbitkan Badan Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

natal dpp

Mengutip laman Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP), Minggu (28/12/2025), laporan PASPI Monitor 2021 bertajuk Asal Usul Lahan Perkebunan Sawit Indonesia dan Polemik Deforestasi mencatat bahwa 61,6 persen ekspansi kebun sawit Indonesia periode 1990–2018 berasal dari lahan terdegradasi, sementara 37 persen lainnya berasal dari lahan pertanian dan perkebunan eksisting.

Dalam kajian tersebut, lahan terdegradasi didefinisikan secara rinci, mencakup semak belukar dataran tinggi, semak rawa, hutan rawa terganggu, hutan daratan terganggu, lahan terbuka, serta berbagai bentuk penggunaan lahan lain yang telah mengalami penurunan fungsi ekologis akibat aktivitas manusia sebelumnya.

Sebaliknya, kontribusi hutan alam yang tidak terganggu terhadap asal-usul kebun sawit tercatat sangat kecil, hanya 1,4 persen. Kategori ini meliputi hutan daratan primer, hutan rawa primer, serta mangrove alami berdasarkan klasifikasi tutupan lahan nasional.

“Secara keseluruhan, data tersebut menunjukkan bahwa 98,6 persen lahan perkebunan sawit Indonesia tidak berasal dari konversi hutan alam,” sebagaimana tercantum dalam publikasi BPDP yang mengulas hasil kajian berbasis data spasial nasional.

natal dpp

Temuan ini sekaligus menantang sejumlah studi lama yang kerap dijadikan rujukan internasional dan menyebut angka deforestasi sawit relatif tinggi. Beberapa penelitian terdahulu, seperti kajian Wilcove dan Koh serta Fitzherbert dan Wicke, dinilai tidak menggunakan data asal-usul lahan yang terverifikasi secara spasial serta belum terintegrasi dengan pembaruan citra satelit nasional.

Kajian lanjutan yang dikutip BPDP juga memperlihatkan bahwa deforestasi di Indonesia tidak memiliki korelasi positif langsung dengan ekspansi kebun sawit. Faktor utama penyebab deforestasi justru berkaitan dengan kebijakan dan aktivitas non-sawit, seperti program transmigrasi, pemberian hak pengusahaan hutan (HPH), serta kebakaran hutan berskala besar.

Program transmigrasi sejak era kolonial hingga awal 2000-an tercatat mengonversi hampir sembilan juta hektare hutan, sementara aktivitas HPH dan kebakaran hutan meninggalkan hamparan luas lahan terdegradasi di Sumatera dan Kalimantan.

Lahan eks-HPH dan eks-kebakaran tersebut kemudian tercatat dalam data tata ruang nasional sebagai semak belukar dan lahan terbuka. Dalam perkembangannya, area-area ini dialokasikan untuk berbagai pemanfaatan ekonomi, termasuk pembangunan perkebunan kelapa sawit.

natal dpp

Kajian Ilmiah Bantah Sawit Deforestasi dan Degradasi Hutan Indonesia Karena Sawit

Berbagai kajian ilmiah menunjukkan bahwa deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia tidak memiliki hubungan kausal langsung dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit. Sejumlah studi justru menempatkan kebijakan negara dan faktor non-sawit sebagai penyumbang utama hilangnya tutupan hutan dalam skala besar.

Penelitian PASPI (2017) dan Roda (2019) memperlihatkan bahwa peningkatan luas perkebunan kelapa sawit tidak berkorelasi positif secara langsung dengan laju deforestasi nasional. Temuan tersebut sejalan dengan kajian lintas disiplin yang menelusuri akar historis perubahan tutupan hutan di Indonesia.

Dalam berbagai publikasi ilmiah, sedikitnya terdapat tiga faktor utama yang menjadi penyebab deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia, yakni kebijakan transmigrasi, kebijakan hak pengusahaan hutan (HPH), serta kebakaran hutan berskala besar (Vadya, 1999; Gunarso et al., 2013; Santosa et al., 2020).

Kebijakan transmigrasi tercatat sebagai salah satu faktor paling signifikan. Program ini telah dimulai sejak era kolonial Belanda pada periode 1905–1940 dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia pada kurun 1969–2000. Sepanjang periode tersebut, kebijakan transmigrasi mengonversi sekitar 8,94 juta hektare hutan menjadi lahan pertanian dan permukiman bagi 3,05 juta rumah tangga transmigran.

Selain transmigrasi, kebijakan hak pengusahaan hutan sejak awal 1970-an juga berkontribusi besar terhadap degradasi hutan. Data menunjukkan bahwa aktivitas HPH menyebabkan degradasi hutan seluas 6,7 juta hektare di Sumatera dan 8,5 juta hektare di Kalimantan pada periode 1985–1997.

Faktor ketiga adalah kebakaran hutan, yang meninggalkan dampak ekologis luas dan berkepanjangan. Di Kalimantan Timur, kebakaran besar pada periode 1982–1983 menghanguskan sekitar 3,6 juta hektare hutan, sementara kebakaran tahun 2011 kembali merusak sekitar 2,6 juta hektare kawasan hutan.

Hutan-hutan yang terdampak aktivitas HPH dan kebakaran tersebut kemudian tercatat sebagai lahan terdegradasi (degraded land), yang secara ekologis didominasi semak belukar dan lahan terbuka. Dalam konteks perencanaan tata ruang nasional, kawasan-kawasan ini tidak lagi diklasifikasikan sebagai hutan utuh.

Untuk meningkatkan pemanfaatan ruang sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerintah Indonesia kemudian mengalokasikan degraded land tersebut ke berbagai sektor produktif, termasuk areal hutan tanaman industri (HTI) dan areal perkebunan, salah satunya perkebunan kelapa sawit.

Dengan demikian, pembentukan perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak berasal dari proses deforestasi langsung terhadap hutan alam. Bahkan, berbagai kajian menyebutkan bahwa perubahan penggunaan lahan dari kondisi terdegradasi menjadi perkebunan sawit kerap disertai peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan ekologis dibandingkan kondisi awalnya.

Dalam perspektif tersebut, transformasi degraded land menjadi perkebunan kelapa sawit dapat dipandang sebagai bentuk restorasi sosial, ekonomi, dan ekologis, bukan sebagai pemicu utama deforestasi, sebagaimana kerap digambarkan dalam narasi global yang tidak berbasis konteks historis dan spasial Indonesia.

Tags:

Lahan Sawitkebun sawit

Berita Sebelumnya
BULOG Dorong Pembelian Minyakita Gunakan QRIS

BULOG Dorong Pembelian Minyakita Gunakan QRIS

Perum Bulog mendorong pedagang/pengecer Minyakita untuk menyediakan metode pembayaran digital Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) guna mempermudah transaksi dan menghindari persoalan uang kembalian.

29 Desember 2025 | Berita

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *