
sawitsetara - JAKARTA – Pakar Agroekonomi, Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan, Ph.D, getol menyoroti hadirnya hak guna usaha (HG&) di Indonesia yang justru mengalami detransformasi, terjebak dalam pola ekonomi sederhana dan rentan, terutama dalam sektor pertanian seperti kelapa sawit.
Detransformasi ini, menurut Prof. Agus Pakpahan, merupakan warisan kolonial yang dikukuhkan dalam hukum agraria, menciptakan konsentrasi lahan di tangan korporasi. Akibatnya, tanah bisa diperjualbelikan, layaknya komoditas dan dipisahkan dari manusia yang hidup di atasnya.
Prolog: Bangunan yang Retak
Pada suatu hari di tahun 2024, di sebuah desa terpencil Kalimantan Barat, seorang petani kecil bernama Pak Arif memanen sawit di lahannya yang sempit—hanya 2 hektar, dikelilingi perkebunan besar yang pagarnya setinggi 3 meter. Sebagai buruh harian lepas, upahnya tak pernah cukup.
Sementara itu, di gedung pencakar langit Jakarta, direktur sebuah konglomerat agraria merencanakan ekspansi 100.000 hektar baru. Di antara kedua dunia ini, terbentang jurang yang semakin dalam—jurang yang mengancam tidak hanya keadilan sosial, tetapi juga masa depan ekologis bangsa.
“Ini bukan cerita baru. Ini adalah pola yang berulang sejak era kolonial, semakin mengeras di era Orde Baru, dan mencapai puncaknya di era globalisasi. Indonesia telah mengalami apa yang disebut detransformasi ekonomi—proses pembalikan transformasi, di mana kita bukannya naik kelas dalam rantai nilai global, malah terjebak dalam pola ekonomi sederhana yang rentan,” kata Prof. Agus Pakpahan, dalam keterangan tertulis, Minggu (7/12/2025).
Menurut Prof Agus Pakpahan, Product Complexity Index (PCI) minyak kelapa sawit -2,4 merupakan suatu cermin penting kegagalan: menghancurkan alam hutan tropika yang sangat kompleks menjadi produk dengan nilai kompleksitas sains -2,4. Angka ini lebih dari sekadar statistik, diagnosis penyakit sistemik.
“Dalam ukuran PCI kita jauh tertinggal dari produk yang dihasilkan Malaysia, Thailand dan Vietnam. Kita bukan hanya tertinggal; kita bergerak mundur,” tambahnya

Anatomi Detransformasi: Warisan Kolonial yang Tak Pernah Pergi
Mantan Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (1998-2003) ini menjelaskan, ketika Agrarischwet 1870 diberlakukan Hindia Belanda, tanah diubah menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan, dipisahkan dari manusia yang hidup di atasnya. Hukum agraria kolonial ini didasarkan pada tiga prinsip keliru:
Setelah merdeka, kata Prof. Agus Pakpahan, Indonesia tidak pernah benar-benar membongkar warisan ini. UU Pokok Agraria 1960 memang bernafas nasionalisme, tetapi implementasinya dikalahkan oleh UU Penanaman Modal Asing 1967 dan UU Kehutanan 1967 yang justru melanjutkan logika kolonial.
“Hasilnya? 10 juta hektar lahan terkonsentrasi di segelintir korporasi melalui Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit. Sebagai perbandingan: 14,3 juta rumah tangga petani Indonesia rata-rata hanya memiliki 0,8 hektar,” ungkapnya.
Krisis 1998: Pelajaran yang Terlupakan
Lebih lanjut, salah satu sosok berjasa mendirikan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) ini mengungkapkan, data dari periode 1998-2003 menceritakan kisah pilu: 5,3 juta hektar lahan perkebunan dan hutan tanaman industri diduduki atau dijarah; 1,2 juta keluarga terlibat dalam 1.753 kasus konflik agraria; dan kerugian ekonomi mencapai USD 2,1 miliar
“Tetapi yang lebih penting dari angka-angka ini adalah pelajaran konseptual: ketika legal license (HGU) tidak didukung social license, sistem akan runtuh,” kata alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) ini.
Perusahaan-perusahaan memiliki sertifikat hukum sempurna, tetapi mereka telah kehilangan legitimasi sosial. Ketika rezim represif Orde Baru jatuh, rakyat mencabut “izin sosial” mereka melalui pendudukan massal—sebuah koreksi sejarah yang brutal. Krisis 1998 membuktikan kebenaran pemikiran yang berkembang di era globalisasi 1990-an: “license to operate” tidak cukup hanya dengan sertifikat kepemilikan. Diperlukan legitimasi sosial dan ekologis.
Model Monokultur yang Rapuh
Menurut Prof. Agus Pakpahan, sistem HGU korporasi monokultur memiliki tiga kerapuhan sistemik: Pertama, kerentanan ekologis. Monokultur sawit dengan akar seragam menghancurkan kompleksitas ekosistem. Saat hujan deras, tidak ada sistem akar beragam untuk menahan air.
“Hasilnya: banjir bandang dan longsor yang semakin sering,” katanya.
Kedua, kerentanan ekonomi. Ketika harga CPO dunia jatuh 30% seperti terjadi 2019-2020, seluruh wilayah yang bergantung padanya langsung mengalami resesi lokal. Tidak ada diversifikasi produk atau mata pencaharian.
Ketiga, kerentanan sosial. Masyarakat yang menjadi buruh upahan kehilangan pengetahuan lokal dan kapasitas memproduksi pangan mandiri. Saat krisis pangan datang—seperti ancaman krisis pangan global 2023-2024—mereka menjadi kelompok paling rentan.

Cerah di Tengah Gelap: Keajaiban Keling Kumang
Di tengah pesimisme ini, Prof. Agus Pakpahan menceritakan m, dari pedalaman Kalimantan Barat muncul cerita berbeda. Tahun 1993 sekelompok masyarakat Dayak Iban mendirikan Koperasi Kredit Keling Kumang dengan modal awal kurang dari Rp 300.000.
Namun, 32 tahun kemudian aset mereka meningkat Rp 2.34triliun, anggota menjadi 234.000oran, NPL (kredit macet) turun 2% (jauh lebih baik dari bank komersial, jaringan meluas jadi 79 kantor pelayanan.
Tapi angka-angka ini hanya kulit luarnya. Rahasia Keling Kumang ada pada model operasional yang berbeda:
1. Trust-Based Lending: Tidak perlu agunan fisik. Agunannya adalah reputasi dalam komunitas.
2. Financial Literacy First: Setiap anggota wajib mengikuti pendidikan keuangan dasar.
3. High-Tech, High-Touch: Digital tapi tetap pertahankan interaksi tatap muka.
4. Profit for Purpose: Keuntungan untuk anggota PLUS investasi sosial-ekologis.
Keling Kumang membuktikan bahwa ekonomi bisa dilakukan dengan cara yang lebih manusiawi. Ia adalah bukti hidup (proof of concept) bahwa model alternatif itu mungkin, dan bisa skala besar. Lebih penting lagi institusi ini terbukti bisa dibangun oleh masyarakat pedalaman, lebih dari 72 % sebagai petani kecil.
“Dan mereka sudah mampu melakukan lompatan kuantum berbasis alar budaya koperasi: trust, kebersamaan, kekeluargaan dan sekaligus juga penerapan teknologi dan manajemen modern,” katanya.
Sementara itu, di tingkat nasional, telah lahir 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP). Ini adalah potensi jejaring terluas yang pernah dibangun di Indonesia—lebih banyak dari jumlah kantor bank dan minimarket digabungkan. Tetapi kebanyakan dari mereka masih seperti bayi yang baru belajar berjalan.
Modal terbatas, pengetahuan bisnis minim, teknologi sederhana, dan ekerja sendiri-sendiri (belum terbentuk network). Mereka seperti 80.000 perahu kecil di lautan luas, masing-masing mengayuh sendiri, rentan dihantam gelombang besar pasar global.
Prof Agus memaparkan, di tataran konseptual, muncul gagasan BUMA-NKRI (Badan Usaha Milik Anggota-Negara Koperasi Republik Indonesia) dengan Simpanan Pokok Kedaulatan Rakyat (SPKR) Rp 199 triliun. Mekanismenya revolusioner: setiap warga negara dewasa menyetor Rp 1 juta—tidak dapat dicairkan—sebagai bukti kepemilikan.
Dana terkumpul ini menjadi modal awal BUMA-NKRI, dengan struktur kepemilikan 49% atau 199 juta warga negara melalui SPKR (Simpanan Pokok Kedaulatan Rakyat), lalu 51% oleh negara, dan 49% BUMA-NKRI
Ini adalah pengejawantahan konkret Pasal 33 UUD 1945: “bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Selama ini, frasa “rakyat” dalam klausul itu bersifat abstrak. SPKR membuatnya konkret: rakyat menjadi 199 juta anggota dengan bukti kepemilikan.
Problem Integrasi: Tiga Dunia yang Terpisah
Menurut Prof Agus, Indonesia saat ini memiliki tiga fenomena yang berjalan sendiri-sendiri: pertama, UMA-NKRI: Visi besar di tingkat nasional, tapi tanpa kaki di tanah. Kedua, 80.000 KDMP: Kaki di tanah, tapi tanpa visi besar dan integrasi. Dan ketiga, Keling Kumang: Bukti konsep sukses, tapi masih terisolasi secara geografis
“Ini seperti memiliki Otak (visi BUMA-NKRI) tanpa tubuh, Tubuh (jaringan KDMP) tanpa otak, jantung (Keling Kumang) yang hanya memompa untuk bagian kecil tubuh,” analogi Prof Agus Pakpahan.
Tetapi, menurut dia, justru dalam keterpisahan ini terletak peluang besar. Bayangkan jika ketiganya bertemu menjadi persamaan matematika kelembagaan di mana BUMA-NKRI (Visi + Modal + Skala) + KDMP (Jaringan + Keanggotaan + Operasional) + Keling Kumang (DNA Kelembagaan + Bukti Konsep) = Republik Kooperatif (Ekonomi Kolektif Terintegrasi).
Prof Agus Pakpahan menghitung dengan kalkulator sederhana, jika 70% dari 16 juta hektar sawit Indonesia dikelola koperasi maka hasilnya 11,2 juta hektar x 4 ton/ha (dengan teknologi) = 44,8 juta ton CPO x Rp 10 juta/ton = Rp 448 triliun dari CPO saja.
Ditambah diversifikasi agroforestri dan hilirisasi, pendapatan total potensial Rp 500-700 triliun per tahun. Sebagai perbandingan hasil, Pertamina Rp 1.100 triliun; Astra Group Rp 300-350 triliun, seluruh holding perkebunan BUMN Rp 150-200 triliun.
“BUMA-NKRI + KDMP berpotensi menjadi 3 besar entitas ekonomi Indonesia,” kata Prof. Agus Pakpahan.
Paradigma Baru: Dari License To Own ke License To Steward
Menurut Prof. Agus Pakpahan, sistem HGU korporasi menganut paradigma “License to Own & Extract”. Antara lain legitimasi hanya dari sertifikat hukum, hubungan eksklusif antara negara dan korporasi, tujuan akumulasi kapital, dengan logika tanah sebagai komoditas. Paradigma ini telah gagal secara sosial, ekologis, dan bahkan ekonomis dalam jangka panjang.
Indonesia, kata dia, perlu paradigma baru: “License to Steward & Regenerate” dengan tiga legitimasi: Legal Legitimacy, dari negara melalui hukum; Social Legitimacy, dari rakyat melalui partisipasi dan kepemilikan; cological Legitimacy, dari kinerja regeneratif yang terukur.
Dalam paradigma baru ini, hubungan negara dengan rakyat sebagai anggota, sedangkan hubungan dengan koperasi adalah triangular, inklusif. Tujuannya? Memakmuran berkelanjutan (thriving), bukan sekadar growth. Sedangkan logika, tanah sebagai amanat kehidupan.
Menurut Prof. Agus Pakpahan, BUMA-NKRI bukan sekadar transfer kepemilikan. Ia adalah institusionalisasi dari “License to Steward”. Melalui SPKR, rakyat bukan lagi objek kebijakan, melainkan subjek pemilik. Mekanisme ini menciptakan akuntabilitas baru di mana direksi BUMA-NKRI bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Anggota.
“Setiap kebijakan strategis harus melalui persetujuan dewan dan transparansi radikal melalui teknologi,” kata dia.
Belajar dari Dunia: Tiga Raja Kooperasi Global
Prof. Agus Pakpahan mencontohkan tiga kooperasi global yang bisa ditiru oleh Indonesia. Pertama, Zen-Noh, sebuah federasi yang menguasai rantai nilai di Jepang. Koorporasi ini beranggotakan 4,8 juta anggota (hampir semua petani Jepang). Omsetnya Rp 600 triliun (2022), dan menguasai 70% pemasaran beras Jepang.
“Koperasi bisa menjadi contoh backbone ekonomi nasional,” katanya.
Koorporasi kedua adalah, Nonghyup, konglomerat finansial berbasis koperasi di Korea. Asetnya Rp 13.000 triliun—salah satu terbesar di Korea, sedangkan omset mencapai p 3.600 triliun. Mengendalikan 80% produk pertanian nasional. Koperasi bisa menjadi contoh kekuatan finansial kompetitif.
Ketiga, koorporasi CHS Inc, sebuah koperasi fortune 100 global di AS. Pendapatan mencapai Rp 750 triliun dengan anggota petani dan ranchers Amerik. Koperasi ini bisa menjadi contoh pemain global efisien.
Yang menarik dari ketiganya, mereka bukan usaha kelas dua, tapi pemain utama. Mereka lebih tangguh dalam krisis karena basis anggota kuat. Mereka lebih berkelanjutan karena akuntabilitas ke anggota, bukan hanya shareholder
“Tapi ketiganya masih terbatas: hanya untuk petani, di negara maju, dengan skala lebih kecil dari potensi Indonesia.”
Rintangan di Depan
Prof. Agus Pakpahan mengungkapkan ada sejumlah tantangan untuk mewujudkan ekonomi Indonesia menjadi Republik Kooperatif.
Pertama adalah resistensi oligarki agraria, di mana pemegang HGU besar yang memiliki kekuatan ekonomi (modal, teknologi, akses pasar), kekuatan politik (lobi, hubungan dengan birokrasi), dan kekuatan hukum (kontrak yang mengikat) akan melawan dengan segala cara.
Kedua, birokrasi yang terbelenggu mentalitas kolonial, di mana birokrasi agraria Indonesia masih berpikir dengan logika Agrarischwet 1870: Tanah sebagai objek administrasi; korporasi sebagai mitra karena bicara bahasa “investasi”; masyarakat adat dan petani kecil sebagai “masalah” yang harus ditertibkan.
“Tantangan ketiga, fragmentasi gerakan. Gerakan reforma agraria, koperasi, lingkungan, dan masyarakat adat sering bekerja sendiri-sendiri. Padahal lawan bersama: sistem yang sama,” kata Prof. Agus Pakpahan.
Kemudian keempat, kurangnya imajinasi kelembagaan. Indonesia terlalu sering berpikir dalam dikotomi: negara vs pasar, swasta vs BUMN, hingga individu vs kolektif. Menurut Prof. Agus Pakpahan, Indonesia butuh imajinasi kelembagaan baru: hibrida yang memadukan yang terbaik dari berbagai model.
Visi Awal: Republik Kooperatif
Prof. Agus Pakpahan menjelaskan secara ringkas bagaimana gambaran awal dari Republik Kooperatif. Pondasi ekonomi ini diawali dengan arsitektur empat lapis.
Yakni lapis 4: BUMA-NKRI – Strategic holding nasional; lapis 3: Federasi Bioregional- 8 wilayah dengan spesialisasi, lapis 2: Koperasi Sekunder- 500 unit kabupaten/kota; dan lapis 1: KDMP – 80.000 unit desa/kelurahan.
Kemudian prinsip desainnya berupa subsidiarity (keputusan di tingkat terendah yang mungkin); solidarity (koperasi kuat membantu yang lemah); sustainability (ekonomi, sosial, ekologi seimbang, dan Sovereignty (kedaulatan pangan, energi, teknologi).
Lebih lanjut, Prof. Agus Pakpahan menjelaskan, Republik Kooperatif mendorong tiga transformasi sekaligus yaitu transformasi kepemilikan, dari korporasi ke kolektif; transformasi produksi, dari monokultur ke agroforestri; dan ransformasi pasar, dari ekspor mentah ke hilirisasi lokal-global.
Apa yang Akan Terjadi Jika Kita Tidak Berubah?
Menurut Prof. Agus Pakpahan, berdasarkan skenario Business as Usual 2045, jika Indonesia tak melakukan reformasi ekonomi ke arah Republik Indonesia, banyak dampak buruk yang terus membuat. Antara lain PCI tetap negatif, Indonesia jadi pengekspor bahan mentah permanen dan konsentrasi lahan semakin ekstrem
Tak hanya itu, konflik agraria meledak dengan skala lebih besar dari 1998, bencana ekologis menjadi rutinitas, hingga ketimpangan sosial menggerogoti kohesi bangsa.
“Atau kita bisa memilih jalan berbeda. Jalan yang dimulai dengan pengakuan jujur: sistem kita sakit parah, dan obatnya harus radikal dan komprehensif. Tidak bisa tambal sulam dan doing business as usual,” kata Prof. Agus Pakpahan.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *