
sawitsetara.co - Ancaman serius tengah membayangi masa depan kelapa sawit Indonesia. Penyakit Ganoderma boninense, organisme penyebab busuk pangkal batang yang kini menjadi momok bagi perkebunan sawit nasional, berpotensi membuat tanaman strategis ini musnah dalam 30–40 tahun mendatang jika tak segera dikendalikan.
“Kalau masalah Ganoderma tidak teratasi dalam 15–20 tahun ke depan, tahun 2060–2070 kelapa sawit di Indonesia bisa punah,” tegas Baginda Siagian, Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma, Ditjen Perkebunan, dalam Talk Show Karantina 2025 dikutip dari media perkebunan, Kamis (6/11/2025).
Ganoderma, katanya, merupakan penyakit yang berkembang biak melalui spora di dalam tanah. “Seperti kapal selam, dia tidak terlihat di permukaan, tapi bisa tiba-tiba menyerang dan membuat banyak pohon sawit tumbang,” ujarnya menggambarkan betapa mematikannya penyakit ini.
Pemerintah melalui Ditjen Perkebunan menyerahkan kepada para ahli untuk mencari solusi paling efektif dan efisien. Pembiayaan riset dikoordinasikan oleh BPDP (Badan Pengelola Dana Perkebunan). Salah satu langkah strategis yang sedang dilakukan adalah eksplorasi sumber daya genetik ke Tanzania, guna mendapatkan plasma nutfah dengan keragaman genetik lebih luas untuk pemuliaan varietas sawit tahan Ganoderma.

“Dari hasil pemuliaan ini kita berharap muncul varietas sawit yang lebih kuat dan adaptif terhadap serangan penyakit,” jelas Baginda.
Selain serangan penyakit, perubahan iklim memperparah situasi. Gangguan pola hujan dan ketersediaan air dapat menurunkan daya dukung lahan. Kombinasi dua faktor ini membuat 41% lahan sawit Indonesia berpotensi tidak bisa ditanami pada 2050, dan bahkan bisa mencapai 100% pada 2100 jika tak ada intervensi.
Tantangan lain datang dari penggunaan benih ilegitim di kalangan petani swadaya. Survei Ditjen Perkebunan menunjukkan, di Sumatera Selatan sekitar 45% petani masih memakai benih tidak bersertifikat, sementara di Riau angkanya mencapai 71%. “Ini harus segera ditangani agar produktivitas tidak terus merosot,” katanya.
Saat ini Indonesia masih menjadi raja minyak sawit dunia, dengan produktivitas rata-rata 3,52 ton per hektare. Namun, Baginda menegaskan, angka itu belum cukup untuk menjaga ekspor tetap stabil.
“Tidak usah muluk-muluk naik 7–10 ton per hektare, bisa naik 5 ton saja sudah bagus. Kalau produktivitas tidak meningkat sampai 2045, ekspor minyak sawit Indonesia akan turun signifikan,” ujarnya.

Data Ditjen Perkebunan menunjukkan, produksi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia pada 2023 mencapai 50,36 juta ton, dengan kebutuhan biodiesel 11,7 juta ton. Tahun 2026, kebutuhan biodiesel diproyeksikan melonjak hingga 18,99 juta ton, sementara ekspor diperkirakan turun menjadi hanya 26,63 juta ton, level terendah sejak 2020.
“Permintaan biodiesel terus naik, tapi kalau produksi stagnan, yang akan dikorbankan adalah ekspor,” ujar Baginda.
Meski begitu, pemerintah optimistis Indonesia tetap bisa menjadi penentu harga minyak sawit dunia, asalkan produktivitas ditingkatkan dan pengendalian penyakit seperti Ganoderma berhasil dilakukan.
“Dengan posisi kita sekarang, Indonesia seharusnya menjadi price maker minyak sawit dunia, bukan sekadar pengikut,” tegas Baginda.
Ganoderma dan perubahan iklim menjadi dua ancaman terbesar bagi masa depan sawit Indonesia. Namun dengan riset genetik, peningkatan produktivitas, serta perbaikan mutu benih, Indonesia masih punya peluang mempertahankan posisinya sebagai penguasa minyak nabati dunia hingga dekade-dekade mendatang.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *