sawitsetara.co - Penyerahan lahan sawit seluas 1,5 juta hektare hasil sitaan negara kepada PT Agrinas Palma Nusantara mendapat sorotan tajam dari pakar hukum kehutanan Universitas Al-Azhar Indonesia, Sadino. Ia menegaskan, tanpa verifikasi faktual dan kepastian status hukum lahan, langkah ini justru berpotensi memicu konflik agraria dan sengketa tenurial di masa depan.
Pemerintah melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) sebelumnya mengumumkan keberhasilan menyita lebih dari 3,3 juta hektare kebun sawit ilegal yang berada di kawasan hutan. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,5 juta hektare kini dikelola oleh PT Agrinas, anak usaha BUMN yang ditunjuk untuk memperkuat tata kelola sumber daya alam.
Namun, Sadino menilai langkah ini tidak boleh dilakukan secara serampangan. “PT Agrinas sebagai pihak yang ditugaskan mengelola kebun sawit hasil sitaan harus segera melakukan verifikasi faktual di lapangan agar ada kejelasan tutupan lahan dan penguasaan,” ujarnya dikutip dari antara.com, Jumat (26/09/2025).
Sadino menjelaskan, data administrasi yang dimiliki pemerintah maupun perusahaan kerap tidak sinkron dengan kondisi faktual di lapangan. Ketimpangan ini diperparah dengan belum selesainya proses pemutakhiran status kawasan hutan secara nasional.
“Status kawasan hutan di Indonesia memang belum clear and clean. Bisa terjadi tumpang tindih klaim antara perusahaan, koperasi, kelompok tani, hingga masyarakat adat atau lokal,” ujarnya.
Ia menyoroti perbedaan kemampuan dokumentasi antara pelaku usaha besar dan masyarakat kecil. Jika masyarakat tidak memiliki dokumen yang sah, bukan berarti mereka tidak memiliki hak.
“Hak-hak masyarakat itu dijamin konstitusi dan undang-undang. Dalam norma hukum, jika seseorang sudah menguasai, mengelola, dan memanfaatkan lahan secara turun-temurun, maka itu bisa menjadi dasar hak atas tanah, meskipun secara administratif masih masuk kawasan hutan,” jelas Sadino.
Sadino juga mendorong audit menyeluruh oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap proses penyerahan lahan kepada PT Agrinas. Menurutnya, audit ini penting untuk menjamin legalitas pengelolaan dan menghindari potensi penyalahgunaan wewenang.
“Audit diperlukan agar jelas status lahan yang diserahkan ke PT Agrinas. Kalau tidak, ini bisa menjadi masalah besar di masa depan. BUMN tentu membutuhkan kepastian hukum agar tidak terjebak dalam konflik atau sengketa,” tegasnya.
Langkah pemerintah menertibkan kebun sawit ilegal dan mengambil alih pengelolaannya melalui BUMN merupakan bagian dari reformasi besar tata kelola sumber daya alam. Namun, Sadino mengingatkan agar langkah ini tidak mengorbankan kepentingan masyarakat di sekitar kawasan hutan.
“Jika lahan diambil alih Satgas PKH lalu diserahkan ke PT Agrinas tanpa verifikasi yang jelas, maka risiko konflik sosial sangat besar. Ini bukan hanya soal lahan, tapi soal keadilan dan keberlanjutan,” katanya.
Sadino berharap, penertiban kawasan hutan yang dilakukan pemerintah menjadi momentum untuk mempercepat reforma agraria sejati, di mana kejelasan hak atas tanah menjadi fondasi utama pembangunan berkelanjutan.
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *