sawitsetara.co – JAKARTA – Industri sawit serba besar. Besar kontribusi dan besar pula tantangannya. Persepsi negatif dan sorotan tajam tak terhindarkan. Oleh karena itu perlu upaya bersama. Salah satunya, kolaborasi petani dan pengusaha.
“Petani dan pengusaha punya kepentingan dan tanggung jawab yang sama dalam aspek manusia (people). Menghormati dan memenuhi hak. Memastikan nasib dan harkat jutaan manusia yang hidup dari sawit,” unkap Sumarjono Saragih, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Bidang Pengembangan SDM dalam keterangan tertulis yang dikirimkan ke sawitsetara.co.
Lebih lanjut Sumarjono menjelaskan, petani dan pekerja (buruh) adalah dua kelompok besar dalam industri sawit. Petani sawit mengelola 42% kebun sawit nasional. Tidak kurang 2 juta keluarga petani. Jumlah buruh lebih besar lagi. Disebut tak kurang dari 16 juta pekerja.
“Nasib pekerja perempuan dan tuduhan pekerja anak (child labour) jadi perhatian banyak pihak beberapa tahun terakhir. Baik nasional maupun global. Mulai dari pemerintah, orginasi buruh, pasar dan masyarakat sipil (NGO),” jelas Sumarjono, yang juga Chairman Founder WISPO (Worker Initiatives for Sustainable Palm Oil).
Sumarjono menegaskan dalam hal ini GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit) aktif kampanye SIRA (Sawit Indonesia Ramah Anak). Juga mendorong perlindungan pekerja perempuan. SARAMPUAN (Sawit Indonesia Ramah Pekerja Perempuan).
“Gerakan ini terus diperluas ke ekosistim sawit. Upaya ini memerlukan peran multipihak. Beberapa waktu lalu, GAPKI juga sudah meminang dan mendapat dukungan Veronica Tan. Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA),” tegas Sumarjono
Kali ini GAPKI menggandeng organisasi petani. Ada tujuh organisasi yang tergabung POPSI (Perkumpulan Organisasi Petani Sawit Indonesia). Menandatangani komitmen dan aksi bersama di tengah acara IPOSC (Indonesia Palm Oil Smallholders Confrence & Expo), Pontianak 24 September 2025.
“Diharapkan petani juga memahami dan mempraktekkan SIRA dan SARAMPUAN. Sehingga wajah sawit benar menghormati manusia (human right). Mengadopsi panduan yang sudah dibukukan dari praktek baik di perusahaan,” terang Sumarjono
Artinya, lanjut Sumarjono, bila ada kehadiran anak di tengah kebun bukan mempekerjakan anak. Tapi proses edukasi dan regenerasi petani. Tanpa mengabaikan hak anak bermain dan mendapatkan pendidikan. Hak anak dipenuhi, dihormati dan dilindungi.
Demikian pula perempuan. Tidak ada kekerasan di perkebunan. Apalagi eksploitasi. Bahkan terus mendorong partisipasi perempuan dan keadilan jender.
“Melalui semua upaya ini, sawit bukan saja berkelanjutan (sustainable). Tapi ramah anak dan perempuan. Industri sawit menjadi lokomotif di perdesaan. Mewujudkan pembangunan manusia menuju Indonesia Emas,” pungkas Sumarjono.
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *