
Dalam perdebatan kehutanan dan lingkungan di Indonesia, ada ironi besar yang jarang disadari. Sekitar 15 juta hektar semak belukar berada di wilayah yang diklaim sebagai kawasan hutan.
Secara ekologis, tutupan ini miskin fungsi. Secara ekonomis, nyaris tidak memberi manfaat. Namun selama ia tetap bernama “semak belukar”, hampir tidak ada kegaduhan publik. Ia diterima sebagai kenyataan yang dibiarkan.
Masalah mulai muncul ketika semak belukar itu diubah menjadi kebun sawit. Tiba-tiba, istilah “deforestasi” dilontarkan dengan penuh keyakinan moral, seolah-olah yang hilang adalah hutan alam yang utuh.
Padahal, dalam banyak kasus, yang berubah hanyalah lahan terdegradasi yang sejak lama kehilangan fungsi hutannya. Inilah titik awal kebingungan kolektif kita: ketidakmampuan membedakan antara hutan sebagai ekosistem hidup dan kawasan hutan sebagai kategori administratif.
Negara tentu tidak menutup mata terhadap luasnya lahan terdegradasi ini. Jawaban normatif yang selalu diajukan adalah rehabilitasi hutan. Namun realitas fiskal berbicara lain. Kemampuan keuangan negara hanya cukup untuk merehabilitasi sekitar 30 ribu hektar per tahun, itu pun dengan asumsi yang sangat optimistis bahwa rehabilitasi berhasil 100 persen.
Pengalaman empiris selama puluhan tahun justru menunjukkan tingkat keberhasilan yang sangat rendah. Bibit mati, perawatan berhenti, dan pada akhirnya semak belukar kembali menguasai lahan.
Anehnya, kegagalan sistemik ini jarang memicu kemarahan publik. Keributan justru meledak ketika lahan yang sama dimanfaatkan untuk sawit. Di sinilah logika publik menjadi timpang. Semak belukar diterima sebagai “status quo ekologis”, tetapi sawit dianggap ancaman, meskipun secara ekologis keduanya tidak terpaut jauh.
Bahkan dalam beberapa aspek—seperti stabilitas tutupan tanah dan pengelolaan biomassa—kebun sawit yang dikelola dengan praktik agronomi yang benar dapat lebih teratur dibanding semak belukar liar.
Perbedaan mendasarnya bukan terletak pada ekologi, melainkan pada ekonomi. Sawit menghasilkan nilai tambah: pendapatan, lapangan kerja, dan basis ekonomi lokal. Semak belukar tidak. Dan justru karena itulah sawit dipersoalkan.
Biasanya, persoalan pertama adalah izin. Ada izin tidak? Memproduktifkan lahan perlu izin ribet, sementara menelantarkan lahan tanpa manfaat tidak perlu izin.
Narasi lingkungan sering kali berfungsi sebagai bahasa moral untuk menutupi konflik kepentingan yang sesungguhnya. Ketika suatu lahan mulai produktif dan menghasilkan manfaat ekonomi nyata, ia menjadi sasaran kritik.
Sebaliknya, selama lahan itu tidak memberi apa-apa—baik bagi manusia maupun ekosistem—ia dibiarkan tanpa banyak pertanyaan.
Dalam kondisi seperti ini, jurus lawas pun kembali digunakan: sawit menyebabkan deforestasi. Klaim ini tidak sepenuhnya salah, tetapi menjadi menyesatkan ketika digeneralisasi tanpa konteks.
Mengubah semak belukar menjadi sawit bukanlah deforestasi dalam pengertian ekologis yang jujur. Itu adalah perubahan pemanfaatan lahan terdegradasi, sesuatu yang seharusnya dibahas secara rasional, bukan emosional.
Pola keributan semacam ini bukan hal baru. Ia berulang di banyak tempat, dari Sumatera hingga Kalimantan. Selalu dengan alur yang sama: lahan terabaikan tidak dipersoalkan, tetapi ketika mulai dikelola dan menghasilkan, tiba-tiba dianggap dosa lingkungan.
Ironisnya, kita terus mengulangi perdebatan yang sama tanpa pernah menyentuh akar persoalan.
Pertanyaan mendasarnya sederhana, tetapi jarang diajukan secara jujur: jika rehabilitasi hutan gagal, dana negara terbatas, dan semak belukar tidak memberi manfaat ekologis maupun ekonomi yang signifikan, apakah membiarkan semak belukar selamanya benar-benar pilihan yang lebih bermoral? Ataukah kita sekadar lebih nyaman dengan lingkungan sebagai simbol moral, bukan sebagai sistem hidup yang harus dikelola secara rasional?
Lingkungan tidak membutuhkan kepura-puraan. Ia membutuhkan kejujuran berpikir. Kejujuran untuk mengakui bahwa tidak semua kawasan hutan adalah hutan, bahwa tidak semua perubahan tutupan lahan adalah kejahatan, dan bahwa kebijakan lingkungan yang baik harus berangkat dari fakta lapangan, keterbatasan fiskal, dan realitas sosial-ekonomi, bukan dari slogan.
Selama kita terus menutup mata terhadap realita ini, semak belukar akan tetap menjadi semak belukar—dan kita akan terus ribut pada hal yang salah, sambil mengabaikan persoalan yang sesungguhnya. Sawit telah memberi kesejahteraan bagi rakyat di negeri seberang, tetapi masih menjadi sumber perdebatan tiada henti bagi rakyat Indonesia.
(mBogor, 26122025)


Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *