
sawitsetara.co – BOGOR – Di tengah hiruk pikuk modernisasi dan urbanisasi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, ternyata menyimpan sejarah panjang perkebunan sawit yang berakar sejak zaman kolonial. Banyak yang mengira bahwa kejayaan sawit baru dimulai belakangan ini.
Namun, fakta terbaru mengungkap bahwa sebagian besar areal perkebunan sawit di Bogor telah eksis sejak zaman Belanda, dan hingga kini tetap lestari.
Dilansir dari elaeis.co, Data dari Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan (Distanhorbun) Kabupaten Bogor menunjukkan total luas kebun sawit mencapai 4.066,36 hektare.
Dari jumlah tersebut, 4.009,36 hektare merupakan tanaman menghasilkan (TM), sementara 57 hektare lainnya masih dalam kategori tanaman belum menghasilkan (TBM).

Area TBM ini hanya ditemukan di Kecamatan Jasinga, yang mengindikasikan adanya pengembangan baru, meskipun relatif minimal.
“Kalau dibandingkan dari sisi luasan, dari sekitar 2021 sampai sekarang relatif sama, bahkan kalau ada, cenderung berkurang sedikit karena beberapa lahan digarap masyarakat, tapi jumlahnya kecil sekali,” ungkap Judi Rachmat, Kabid Perlindungan dan Pelayanan Usaha Distanhorbun Bogor.
Secara geografis, kebun sawit ini tersebar di empat kecamatan di wilayah Bagian Barat Bogor: Cigudeg, Jasinga, Rancabungur, dan Sukajaya. Kecamatan Cigudeg memimpin dengan luas 1.778,93 hektare yang semuanya merupakan tanaman menghasilkan.
Diikuti oleh Rancabungur (1.060,03 hektare TM) dan Sukajaya (183,46 hektare TM). Sementara itu, Jasinga memiliki total 1.043,94 hektare, terdiri dari 986,94 hektare TM dan 57 hektare TBM.
Meskipun ada penambahan sedikit di Jasinga, Judi Rachmat menegaskan bahwa secara keseluruhan, luas lahan sawit di Bogor cenderung stagnan. Perubahan signifikan justru terlihat pada sisi produksi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pohon sawit yang sudah tua dan mulai menurun produktivitasnya.
“Banyak pohon yang harus direplanting kembali,” jelas Judi.

Salah satu fakta menarik adalah bahwa kebun sawit di Bogor tidak berasal dari hutan baru. Sebagian besar lahan yang kini ditanami sawit dulunya adalah kebun karet tua. Hal ini menunjukkan bahwa ekspansi sawit di Bogor tidak menyebabkan penggerusan lahan pertanian pangan maupun kawasan hutan.
“Dari dulu itu sudah lokasi perkebunan, bahkan mungkin sejak zaman Belanda,” tambah Judi. Dari sisi tata ruang, seluruh areal sawit sudah berada dalam zonasi perkebunan, sehingga tidak ada risiko konflik lahan dengan pertanian pangan.
Meskipun usia kebun sawit di Bogor sudah cukup tua, pemerintah daerah tetap berhati-hati dalam pengelolaan dan ekspansi. Setiap permohonan usaha perkebunan baru akan dikaji secara ketat sesuai dengan arahan dari pemerintah pusat. Hal ini penting karena sawit tetap menjadi komoditas unggulan yang memberikan kontribusi devisa bagi negara.
Pemerintah pusat saat ini sedang memperkuat NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria) untuk perkebunan sawit. NSPK ini mencakup berbagai aspek, mulai dari tata ruang, daya dukung lingkungan, hingga mitigasi risiko bencana seperti banjir dan longsor.
“NSPK ini jadi pedoman dalam menilai izin baru, sehingga tidak ada ruang bagi ekspansi sawit di luar kawasan yang sudah ditetapkan,” tegas Judi.
Dengan usia kebun rata-rata lebih dari 20 tahun, sawit di Bogor membuktikan ketangguhan dan keberlanjutannya. Areal yang sudah beroperasi lama diperkirakan akan tetap beroperasi karena statusnya yang sesuai dengan tata ruang. Fakta ini juga sekaligus membantah stigma bahwa sawit selalu identik dengan deforestasi atau konversi hutan.
Seiring dengan penguatan kebijakan dan peraturan, Bogor menunjukkan model perkebunan sawit yang tertata, legal, dan berkelanjutan. Warisan dari zaman kolonial ini terus hidup, memberikan kontribusi bagi perekonomian daerah, menyumbang devisa negara, dan membuka peluang usaha bagi masyarakat setempat.
Dari Cigudeg hingga Sukajaya, dari Rancabungur hingga Jasinga, sawit Bogor tetap menjadi pilar penting perkebunan di Jawa Barat.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *