KONSULTASI
Logo

Dari Pinggiran Ke Pusat: Dekonstruksi Formula Transformasi Struktural

8 Desember 2025
AuthorHendrik Khoirul
EditorDwi Fatimah
Dari Pinggiran Ke Pusat: Dekonstruksi Formula Transformasi Struktural
HOT NEWS

sawitsetara.co - JAKARTA – Pakar Agroekonomi, Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan, Ph.D, mengungkapkan, selama setengah abad, Indonesia menyaksikan parade gagal transformasi struktural yang mengikuti pola serupa: rencana ambisius diluncurkan dengan target lima hingga sepuluh tahun, dan investasi triliunan rupiah mengalir ke proyek mercusuar.

“Lalu satu dekade kemudian kita menemukan fasilitas beroperasi di bawah kapasitas atau terbengkalai karena fondasi kapabilitas tidak pernah dibangun secara memadai,” kata Prof. Agus Pakpahan dalam keterangan tertulis kepada sawitsetara.co, Senin (8/12/2025).

Menurut Agus Pakpahan, Indonesia melompat dari tambang langsung ke mimpi manufaktur canggih tanpa membangun tangga intermediate. Indonesia diversifikasi ke sepuluh sektor sekaligus tanpa menguasai satu pun secara mendalam, bermitra dengan pemain asing tetapi tidak pernah menginternalisasi pengetahuan yang ditransfer.

“Hasilnya adalah ekonomi yang luas tetapi dangkal—banyak industri tetapi tidak ada yang memiliki daya saing global sejati, banyak investasi tetapi tidak ada yang menghasilkan lompatan struktural ke rantai nilai lebih tinggi,” tambahnya.

Sawit Setara Default Ad Banner

Prof. Agus Pakpahan menceritakan bagaimana tiga puluh satu tahun perjalanan Huayou Cobalt dari pedagang mineral pinggiran menjadi konglomerat material baterai yang menguasai enam posisi kepemimpinan pasar global menawarkan kontras mengganggu.

Bukan karena memiliki keunggulan awal yang luar biasa—pada 1994, Huayou Cobalt adalah perusahaan kecil di kota kecil tanpa teknologi canggih atau akses modal besar. Bukan pula karena beroperasi di industri yang mudah—material baterai adalah domain dengan kompetisi brutal, evolusi teknologi cepat, dan konsolidasi pasar yang kejam terhadap pemain lemah.

“Keunggulan fundamental mereka terletak pada disiplin strategis yang jarang: memahami dimana mereka berada dalam peta peluang global, mengidentifikasi produk mana yang realistis dicapai berikutnya, membangun kapabilitas secara bertahap tanpa melompat terlalu jauh, dan mempertahankan komitmen jangka panjang meski tekanan jangka pendek menggoda untuk mengambil jalan pintas,” kata dia.

Prof. Agus Pakpahan tidak bermaksud mengidealkan Huayou sebagai model sempurna yang harus ditiru secara verbatim—konteks industri dan geografi mereka berbeda dari tantangan yang dihadapi Indonesia. Namun, kata dia, ada prinsip-prinsip universal yang tersembunyi di balik trajektori mereka.

“Ada akumulasi kapabilitas berurutan, diversifikasi berbasis kedekatan, kemitraan dengan absorptive capacity, integrasi untuk menciptakan parit pertahanan, portofolio sebagai hedging ketidakpastian, yang adalah grammar transformasi struktural yang applicable di berbagai konteks,” papar Prof. Agus Pakpahan.

Bagi teknokrat Indonesia yang letih dengan kegagalan berulang dan frustrasi melihat peluang yang terbuang, dekonstruksi formula Huayou menawarkan kompas navigasi yang selama ini absen dari perencanaan kebijakan domestik.

Tiga Dekade, Dua Trajektori

Mantan Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (1998-2003) mengungkapkan, pada 1994, ketika Huayou didirikan di Tongxiang, Indonesia meluncurkan program industrialisasi sektor strategis dengan komitmen investasi setara puluhan triliun rupiah dalam nilai sekarang

Tiga dekade kemudian, hasilnya divergen secara dramatis. Huayou menguasai dua puluh delapan persen pasar kobalt global, menjadi pemain nomor dua untuk katoda terner dengan pendapatan konsolidasi miliaran dolar, dan memiliki operasi terintegrasi di lima negara dengan kapabilitas dari tambang hingga daur ulang.

Indonesia, dengan sumber daya mineral jauh lebih berlimpah dan akses pasar domestik lebih besar, masih terjebak di pertengahan rantai nilai—mengekspor produk antara dengan margin tipis, mengimpor komponen canggih yang tidak bisa diproduksi domestik, dan menyaksikan investasi miliaran dolar menghasilkan utilisasi aset di bawah enam puluh persen karena ekosistem pendukung tidak pernah mature.

Menurut Prof. Agus Pakpahan, divergensi ini bukan soal kapasitas teknis bangsa Indonesia—engineer Indonesia tidak kalah cerdas dari rekan mereka di Tiongkok. Bukan pula soal modal—cadangan devisa dan akses ke pasar keuangan global kita cukup untuk mendanai transformasi struktural.

“Perbedaan fundamental terletak pada metodologi: Huayou mengikuti grammar transformasi yang rigorous berdasarkan prinsip kompleksitas ekonomi, sementara kebijakan industri kita kerap didorong proyeksi permintaan optimistis atau tekanan politik untuk menunjukkan hasil cepat, tanpa pemetaan sistematis kapabilitas yang tersedia dan jalur realistis untuk mencapai target ambisius,” kata alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) ini.

Sawit Setara Default Ad Banner

Prinsip Pertama: Tidak Ada Jalan Pintas dalam Akumulasi Kapabilitas

Menurut Prof. Agus Pakpahan, kesalahan paling mendasar dalam perencanaan industri Indonesia adalah asumsi bahwa tahap-tahap intermediate bisa dilewati dengan investasi besar atau transfer teknologi cepat. Indonesia ingin melompat langsung dari pemurnian logam dasar ke manufaktur komponen berteknologi tinggi, dari perkebunan ke industri biokimia canggih, dari assembly sederhana ke rekayasa sistem kompleks.

Namun, kata dia, Huayou membuktikan bahwa transformasi struktural memerlukan traversing setiap tahap secara metodis—dari kobalt murni ke litium kobalt oksida, dari litium kobalt oksida ke katoda terner, dari katoda ke lembaran tembaga, dari produksi primer ke ekonomi sirkular. Setiap lompatan menambah lapisan kapabilitas baru sambil memanfaatkan fondasi sebelumnya.

“Tidak ada skipping steps karena setiap tahap mengajarkan pengetahuan tacit yang menjadi prasyarat untuk tahap berikutnya,” katanya.

Menurut Prof. Agus Pakpahan. Implikasi kebijakan jelas tetapi menyakitkan untuk diterima: roadmap industri Tanah Air harus mengidentifikasi tidak hanya target akhir yang diinginkan, tetapi setiap produk intermediate yang harus dikuasai di sepanjang jalan.

Jika Indonesia ingin menguasai kendaraan listrik, pertanyaannya bukan apakah Indonesia bisa membangun pabrik assembly—itu relatif mudah—tetapi apakah kita bisa memproduksi sistem manajemen baterai, motor listrik presisi, inverter daya, dan puluhan komponen kritis lain yang memerlukan kapabilitas berbeda.

“Jika jawaban untuk sebagian besar adalah tidak, maka target kendaraan listrik adalah mimpi prematur. Strategi yang lebih realistis adalah mengidentifikasi komponen mana yang paling dekat dengan kapabilitas kita saat ini, menguasai itu terlebih dahulu, lalu bertahap naik ke komponen lebih kompleks,” katanya.

Kedekatan Menentukan Keberhasilan, Ambisi Sering Menyesatkan

Hausmann menunjukkan bahwa probabilitas sukses diversifikasi berbanding lurus dengan kedekatan produk baru terhadap produk existing dalam ruang kapabilitas. Huayou mengikuti prinsip ini dengan disiplin:

- Litium kobalt oksida dipilih karena menggunakan kobalt sebagai bahan utama;

- Katoda terner dikembangkan karena berbagi fondasi kimia katoda dengan litium kobalt oksida;

- Litium besi fosfat ditambahkan karena proses manufaktur overlap signifikan dengan katoda terner; dan

- Lembaran tembaga masuk radar karena melayani pelanggan sama dan memerlukan kontrol metalurgi presisi yang sudah dikuasai.

“Tidak ada satu pun lompatan mereka yang acak atau didorong sekadar proyeksi permintaan pasar tanpa mempertimbangkan gap kapabilitas,” tegas Prof. Agus Pakpahan.

Kontras dengan pendekatan Indonesia yang kerap memilih industri target berdasarkan tren global atau rekomendasi konsultan tanpa analisis rigor tentang jarak kapabilitas. Indonesia meluncurkan program kendaraan bertenaga tertentu tanpa menguasai metalurgi paduan canggih, menargetkan industri farmasi canggih tanpa ekosistem kimia halus yang mature, bermimpi tentang semikonduktor tanpa fondasi material science dan cleanroom operations.

Menurut dia, setiap target ini mungkin masuk akal dari perspektif permintaan pasar, tetapi jaraknya terlalu jauh dari kapabilitas kita saat ini sehingga lompatan memerlukan investasi pembelajaran yang tidak realistis dalam horizon waktu relevan. Hasilnya adalah koleksi proyek gagal yang menghabiskan miliaran tanpa menghasilkan transformasi sejati.

Kemitraan Memerlukan Fondasi untuk Absorpsi

Prof. Agus Pakpahan menjelaskan, kolaborasi strategis Huayou dengan LG Chem dan POSCO berhasil bukan karena mendapat akses ke teknologi superior—itu bagian penting tetapi tidak sufficient—melainkan karena mereka sudah memiliki fondasi litium kobalt oksida yang memadai untuk menyerap pengetahuan katoda terner yang ditransfer.

Menurut alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) ini, transfer teknologi hanya efektif jika penerima memiliki absorptive capacity: pemahaman dasar tentang domain, infrastruktur riset untuk eksperimen, tenaga kerja terlatih yang bisa mengoperasikan proses baru, sistem mutu untuk memvalidasi output.

Tanpa fondasi ini, transfer teknologi menghasilkan ketergantungan permanen—fasilitas berjalan selama teknisi asing hadir, kolaps begitu mereka pergi.

Prof. Agus Pakpahan mengatakan, banyak kegagalan transfer teknologi di Indonesia berakar pada absennya absorptive capacity. Indonesia menandatangani perjanjian dengan pemain global, membayar lisensi mahal, mengirim teknisi untuk pelatihan singkat—lalu terkejut ketika teknologi tidak bisa dioperasikan secara mandiri setelah periode bantuan berakhir.

Pelajaran dari Huayou, menurut ahli biokonversi Indonesia ini, kemitraan harus dipilih untuk mempercepat lompatan yang sudah feasible dengan kapabilitas existing, bukan untuk mensubstitusi kapabilitas yang sama sekali absen. Sebelum bermitra untuk teknologi canggih, bangun fondasi melalui penguasaan teknologi lebih sederhana secara internal terlebih dahulu.

Integrasi Vertikal dan Horizontal Menciptakan Parit Terdalam

Dominasi Huayou bukan hanya karena mereka menguasai satu tahap rantai nilai dengan sangat baik, tetapi karena mereka mengendalikan seluruh ekosistem dari tambang hingga daur ulang.

Integrasi vertikal memberikan kepastian pasokan dan kemampuan menangkap margin di setiap tahap. Sedangkan Integrasi horizontal—ekspansi ke lembaran tembaga meski fokus utama katoda—menciptakan proposisi bundling yang meningkatkan customer stickiness.

“Kombinasi kedua dimensi integrasi ini menghasilkan barrier to entry yang hampir mustahil direplikasi: kompetitor baru harus menginvestasikan miliaran dolar dan dua dekade pembelajaran untuk menyamai cakupan,” katanya.

Indonesia memiliki potensi integrasi serupa di beberapa rantai nilai strategis—dari tambang hingga manufaktur komponen—tetapi kapabilitas tersebar di berbagai entitas tanpa koordinasi. Satu badan usaha menguasai hulu, yang lain menguasai pemrosesan, yang ketiga fokus pada hilir—tetapi mereka beroperasi sebagai pulau terpisah dengan sedikit sinergi.

“Pertanyaan strategis: apakah kita bersedia merestrukturisasi lanskap korporat untuk menciptakan integrasi sejati, ataukah kita akan terus membiarkan fragmentasi yang menghabiskan potensi kompetitif kolektif?” kata salah satu tokoh pendiri Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) ini.

Sawit Setara Default Ad Banner

Portofolio Bukan Koleksi, Melainkan Arsitektur Terkalkulasi

Menurut Prof. Agus Pakpahan, strategi dual chemistry Huayou—menguasai katoda terner dan litium besi fosfat sekaligus—bukan diversifikasi acak tetapi hedging terhadap ketidakpastian teknologi dalam klaster yang sama.

Operasi multi-geografi mereka bukan ekspansi oportunistik tetapi akumulasi kapabilitas spesifik konteks: Kongo mengajarkan operasi zona konflik, Indonesia mengajarkan teknologi hidrometalurgi dan kemitraan dengan badan usaha negara.

“Setiap unit bisnis melayani rantai nilai akhir yang sama—material baterai—sehingga investasi dalam riset, sistem mutu, dan hubungan pelanggan bisa diamortisasi di berbagai produk,” katanya.

Kontras dengan konglomerasi Indonesia yang mengoperasikan bisnis tidak terkait—perkebunan, semen, telekomunikasi dalam satu payung—tanpa sinergi operasional sejati. Ukuran besar dalam statistik agregat tidak mentranslasi menjadi kekuatan kompetitif jika tidak ada kedalaman di domain manapun.

Hausmann mengajarkan bahwa diversifikasi strategis bergerak di sepanjang jalur kedekatan, sementara diversifikasi oportunistik melompat ke produk acak yang tidak berbagi kapabilitas. Yang pertama membangun resiliensi dengan efisiensi; yang kedua menciptakan ilusi diversifikasi yang rapuh ketika tekanan datang.

Penutup: Apakah Kita Berani Berkomitmen Tiga Dekade?

Prof. Agus Pakpahan menuturkan, Huayou menghabiskan tujuh belas tahun membangun dominasi kobalt sebelum melompat ke produk kedua, tujuh hingga delapan tahun untuk mencapai posisi nomor dua katoda terner dari nol, lima tahun membangun infrastruktur daur ulang dari konsep hingga operasi terintegrasi.

Total 31 tahun untuk bergerak dari pinggiran ke pusat ruang produk global. Horizon waktu ini melampaui siklus politik kita, melampaui pergantian manajemen korporat, melampaui kesabaran pasar modal yang menuntut hasil kuartalan. Namun tidak ada jalan pintas: transformasi struktural memerlukan akumulasi bertahap yang tidak bisa dipercepat dengan investasi besar sekalipun.

Prof. Agus Pakpahan mengungkapkan pertanyaan eksistensial untuk Indonesia: apakah kita bersedia berkomitmen pada strategi industri dengan horizon tiga dekade—menolak godaan mengubah arah setiap pergantian kabinet, menahan tekanan untuk menunjukkan hasil cepat yang kosmetik, mempertahankan fokus pada satu atau dua rantai nilai strategis sampai dominasi tercapai?

Atau kita akan terus terjebak dalam siklus: rencana ambisius diluncurkan, investasi mengalir, proyek setengah jadi ditinggalkan ketika prioritas politik bergeser, lalu satu dekade kemudian kita memulai dari awal lagi dengan rencana baru yang tidak belajar dari kegagalan sebelumnya?

“Hausmann tidak menawarkan formula ajaib, hanya grammar transformasi yang telah terbukti di berbagai konteks. Huayou mengikuti grammar itu dengan disiplin luar biasa selama tiga dekade. Apakah Indonesia memiliki disiplin serupa?” pungkasnya.


Berita Sebelumnya
Astra Agro Gunakan Digitalisai dan Tentara Serangga Pengendali Hama untuk Tekan Emisi Karbon

Astra Agro Gunakan Digitalisai dan Tentara Serangga Pengendali Hama untuk Tekan Emisi Karbon

Persoalan hama menjadi tantangan bagi peningkatan produktivitas perkebunan sawit. Namun, penanganan dampak negatif serangga yang tidak menerapkan prinsip-prinsip sustainability juga bisa mengakibatkan kerugian lain, terutama kerusakan lingkungan. Langkah inovatif perlu jadi terobosan.

5 Desember 2025 | Edukasi

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *