
sawitsetara.co – KUANTAN SINGINGI – Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) menghadapi masa sulit. Dalam tiga tahun terakhir, Dana Bagi Hasil (DBH) dari sektor sawit dan kehutanan merosot tajam, menekan kemampuan daerah dalam membiayai pembangunan terutama perbaikan dan peningkatan infrastruktur jalan yang selama ini terdampak aktivitas perkebunan dan kehutanan.
Wakil Bupati Kuansing, Muhklisin, mengungkapkan bahwa DBH sawit pada 2024 masih berada di angka Rp12 miliar. Namun kondisi berubah drastis pada 2025 ketika jumlahnya turun menjadi Rp10,2 miliar. Lebih buruk lagi, proyeksi 2026 menunjukkan angka yang terjun bebas hingga hanya sekitar Rp6 miliar.
“Penurunan ini cukup mengkhawatirkan. Jika tren ini berlanjut, DBH sawit 2026 kemungkinan jauh lebih kecil dari yang kita perkirakan,” ujar Muhklisin dikutip dari halloriau.co.
Ironisnya, Kuansing selama ini dikenal sebagai salah satu daerah dengan potensi kelapa sawit terbesar di Provinsi Riau. Total luas perkebunan sawit di daerah itu mencapai 274 ribu hektare, menyumbang produksi signifikan bagi provinsi hingga nasional.

Kondisi lebih memprihatinkan terjadi pada DBH kehutanan. Pada 2024, Kuansing masih menerima Rp4 miliar. Angka tersebut menurun menjadi Rp3 miliar pada 2025 dan dipastikan kembali tergerus pada 2026. Ini terjadi meski Kuansing memiliki kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas lebih dari 80 ribu hektare.
“Dengan potensi seluas itu, pembagian DBH seharusnya lebih proporsional. Pemerintah daerah menanggung dampaknya, mulai dari kerusakan jalan hingga tekanan lingkungan. Namun hasil yang diterima jauh dari memadai,” tegasnya.
Muhklisin berharap pemerintah pusat segera meninjau ulang formula pembagian DBH, agar daerah penghasil mendapatkan porsi yang layak. Menurutnya, ketimpangan antara kontribusi dan penerimaan sudah terlalu besar.
“Kuansing ini salah satu kabupaten penghasil sawit terbesar di Riau. Tapi bagian yang kita terima masih sangat minim. Ini tidak adil bagi daerah yang menjadi tulang punggung produksi,” pungkasnya.

Penurunan DBH tiga tahun berturut-turut ini sekaligus menjadi sinyal kuat bahwa daerah penghasil butuh kebijakan lebih berpihak. Tanpa perubahan, pembangunan di tingkat kabupaten berpotensi tersendat, sementara beban kerusakan—terutama infrastruktur—tetap harus ditanggung daerah.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *